Perbandingan Hukum Acara Peradilan Khusus "Perikanan" dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul "Perbandingan Hukum Acara Peradilan Khusus Perikanan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dipresentasikan pada  Seminar Nasional Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, dilaksanakan  Fakultas Syariah UIN Sumatera Utara di Medan, tgl.4 Juni 2015 
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
     
Pendahuluan 
          Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu, maka pembangunan hukum nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungai dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, maka perlu pemahaman undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta hukum acara “khusus”  untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara Indonesia sebagai negara  hukum dapat ditegakkan.

Hukum Acara Pidsus Perikanan
           Pidana Perikanan adalah pidana khusus. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan pidana perikanan adalah pidana khusus (leks specialis) dengan hukum acara khususn. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal  107 menyatakan bahwa: “ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Untuk memudahkan melihat perbandingan hukum acara pidsus perikanan dengan hukum acara biasa, disajikan dalam bentuk tabel di bawah.

                           Perbandingan Hukum acara Perikanan dengan KUHAP
No.
UU Perikanan
Penjelasan
01.
BAB XIII
PENGADILAN PERIKANAN
Pasal 71/45-2009
Pasal 71
(1)       Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
(2)       Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
(UU 31/2004, Psl 71(2)Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di lingkungan peradilan umum).
Pasal 102 WNA di ZEE mengacu ke-UNCLOS/17-1985: Penegakan peraturan perundang-undangan Negara pantai,  Pasal 73(1).  Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
UU N0.2/1986 Peradilan Umum
Pasal 3 (1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Negeri; b. Pengadilan Tinggi.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 8: Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.
UU No.4/2004 Kekuasan Kehakiman
Pasal 10 (2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 15 (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang
diatur dengan undang-undang.
02
Daerah Hukum Peradilan Perikanan
Pasal 71A/45-2009:
Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.
(UU 31/2004: Pasal 71(4)Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaskud pada ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan).
Pasal 4
UU N0.2/1986 ttg Peradilan Umum:
(1) Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten.
UU N0.8/1981 KUHAP:
Pasal 84
(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
03
Kekhususan Penyidikan Perikanan:
Penyidikan: Pasal 72/31-2004
Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Mengikuti UU No.8/1981 tentang HAP


04
Penyidik Perikanan
Pasal 73/45-2009:
(1)Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
(3)Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.
(Pasal 73 di pecah menjadi Pasal 73, 73A, 73B). Pasal 73/31-2004: (1)Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia).
UU No.32/2014 tentang Kelautan Pasal 59 (3) Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan Keamanan Laut.  Salah satu fungsi Bakamla adalah: c. melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
UU No.8/1981 HAP: Pasal 6
(1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

(UU No.5/1981 Tentang ZEE-Indonesia, penyidik hanya TNI-AL)
05
Kewenangan penyidik perikanan:
Pasal 73A/45-2009
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 berwenang:
a.menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b.memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
c.membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
d.menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e.menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f.memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
g.memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
h.mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;
i.membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j.melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k.melakukan penghentian penyidikan; dan
l.mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.
(Uraian Pasal 73(4) UU No.31-2004, tidak mengalami perubahan)
UU No.8/1981 KUHAP:
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.       
06
Waktu penahanan penyidik
Pasal 73B/45-2009
(1)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan.
(Pasal 73(5) 31-2004 tidak menyebutkan jangka waktu: penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum).
(2)Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.(Sama dengan  Psl 73 (6) UU 31/2004)
(3)Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari.(Sama dengan  Psl 73 (7) UU 31/2004).
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi .(Sama dengan  Psl 73 (8) UU 31/2004).
(5)Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.(Sama dengan  Psl 73 (9) UU 31/2004).
(6)Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73A menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan.
(Tambahan dalan UU No.45/2009)
Khusus Pasal 102 WNA di ZEE mengacu ke-UNCLOS/17-1985:
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum (tidak ada batasan waktu).






Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.

07
Kekhususan Penuntutan:
Penuntutan: Pasal 74/31-2004
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Mengikuti UU No.8/1981 tentang HAP

08
Persyaratan Penuntut  Perikanan
Pasal 75/45-2009:
(1)Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung (sama Psl 75(1)
(2)Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; (Psl 73(2) pengalaman 5 (lima) tahun)
b.telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c.cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.
UU No.8/1981 , Bab XV, mulai Pasal 137 sampai Pasal 144  tidak menyebutkan  persyaratan Penuntut Umum.
Pasal 1 (6). a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 1 (6).b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 137:
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
09
Peroses Penuntutan
Pasal 76 (ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9):
(1)Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan.
(2)Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
(3)Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas,penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
(4)Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
(5)Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan.

Penahanan di Penuntut Umum
(6)Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
(7)Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.
(8)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(9)Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap (tambahan ayat pada UU 45/2009)
Khusus Pasal 102 WNA di ZEE mengacu ke-UNCLOS/17-1985

Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi



dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1)               Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.

Pasal 25
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
10
Barang Bukti
Pasal 76A/45-2009
Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut :
a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum,. benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
11
Barang bukti pidana perikanan
Pasal 76B/45-2009
(1)Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.
(2)Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.
Pasal 45
12
Pelelangan dan Pemanfaatan Lelang
Pasal 76C/45-2009
(1)Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara.
(2)Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
 (5)Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.













(4)Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.

13
Kekhususan pemeriksaan
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 77/31-2004
Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Mengikuti UU No.8/1981 tentang HAP
14
Hakim Pengadilan Perikanan
Pasal 78/31-2004
(1)Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc.
(2)Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier.
(3)Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(4)Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
(1).Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang.
Penjelasan: yang dimaksud dengan “hakim yang ditunjuk” ialah majilis hakim atau hakim tunggal.
15
Pasal 78A/45-2009
(1)Setiap pengadilan negeri yang telah ada pengadilan perikanan, dibentuk subkepaniteraan pengadilan perikanan yang dipimpin oleh seorang panitera muda.
(2)Dalam melaksanakan tugasnya, panitera muda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh beberapa orang panitera pengganti.
(3)Panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan berasal dari lingkungan pengadilan negeri.
(4)Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan serta susunan organisasi, tugas, dan tata kerja subkepaniteraan pengadilan perikanan diatur dengan peraturan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

16
In Absensia
Pasal 79/31-2004
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
17
In Absensia
Pasal 80/31-2004
(1)Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
(2) Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa.

-




Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
18
Penahanan di PN
Pasal 81/31-2004: PN 30 hr
(1)Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(2)Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dan tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(Khusus Pasal 102 WNA di ZEE mengacu keUNCLOS/17-85)
Pasal 26:  PN 90 hr
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi,
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
19
Penahanan di PT
Pasal 82/31-2004
(1)Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
(2)Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(3)Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir.  
(Khusus Pasal 102 WNA di ZEE mengacu keUNCLOS/17-85)
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

20
Penahan MA
Pasal 83/31-2004
(1)Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2)Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(3)Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(Khusus Pasal 102 WNA di ZEE mengacu keUNCLOS/17-85)

Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama empat puluh hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.


Pasal 29: Pertambahan penahanan khusus:
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negari diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding-diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
21
Nakhoda sebagai terdakwa
Pasal 83A/45-2009
(1)Selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing.
(2)Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal.
(3)Ketentuan mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.


KUHP melakukan penyertaan dalam tindak pidana:
Pasal 55 (1) Dipidana sebagai pelaku pidana:
1.    Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan.
2.    Mereka yang dengan member atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan  kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Pasal 84 s/d  Pasal 101, berupada pidana perikanan

22
Pidana denda
Pasal 100D/45-2009:
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, maka denda dimaksud wajib disetorkan ke kas Negara sebagai penerimaan negara bukan pajak kementerian yang membidangi urusan perikanan.

Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.
23
Pidana di ZEE-Indonesia
Pasal 102/31-2004
Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b (baca: ZEEI), kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

Lihat: Pasal 102 WNA di ZEE mengacu ke-
UNCLOS/17-1985: Penegakan peraturan perundang-undangan Negara pantai, 73 (3): Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.



Pasal 5 (1)/31-2004:
Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:
a.perairan Indonesia;
b.ZEEI; dan
c.sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.
Konsekuensi
Konsekuensinya: Psl 10 KUH-Pidana:
1.Pidana   
a.pidana pokok:
1.Pidana mati
2.Pidana Penjara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda
5.Pidana tutupan
b. Pidana tambahan:
1.Pencabutan hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan hakim

(2).Penahanan, pada tahapan penyidikan/penuntutan/peradilan

Pasal 103 penentuan pasal kejahatan dan pelanggaran

24
Pembebasan kapal:
Pasal 104/31-2004:
(1)Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.
(2)Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.
Konsekuensi dari:
1.UNCLOS Pasal 73 (3): Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
2. UU no.8/1981; Pasal 196 (1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
3. UU No.45/2009, Pasal 102, Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang‑Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.

Dihapus/ Pasal 105/31-2004:
(1)Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.
(2)Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak‑pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Menteri.

25
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.

26
Pasal 107
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
UU No.8 tahun 1981

Pasal 108 s/d Pasal 111 tentang pemberlakuan dan peralihan undang-undang


Penutup
Semoga makalah ini dapat membuka wawasan kita melihat hukum acara pidana khusus, khususnya pidana perikanan. Sekarang ini, negara Indonesia mengarah ke laut dengan perikanan sebagai salahsatu primadonanya. Dengan memahami pidana perikanan dan hukum acara perikanan, diharapkan agar keluar rekomendasi perbaikan undang-undang perikanan (pidana, acara) sebagai salah-satu undang-undang prolegnas tahun 2016.  Amin.

1Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Syariah UIN Sumatera Utara di Medan, tgl.4 Juni 2015
2Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH,M.Si adalah mantan PB.PMII dosen di ITM dan Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara

1 comment:

  1. Nama:diki fernando sebayang
    Nim:17202252
    Kelas:4M6
    M.kuliah:pengadilan lingkungan industri

    Menurut saya
    Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Oleh karena itu, maka pembangunan hukum nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungai dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, maka perlu pemahaman undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta hukum acara “khusus” untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara Indonesia sebagai negara hukum dapat ditegakkan.

    Terima kasih

    ReplyDelete