KORUPSI DI LEMBAGA PENDIDIKAN SWASTA

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul : Korupsi di Lembaga Pendidikan Swasta  telah dimuat pada SK. Perestasi  Reformasi di Medan, No.493,  tahun Ke-XVII,  27 Mei 2016, hal.6, kol.1-7
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan






KORUPSI DI LEMBAGA PENDIDIKAN SWASTA
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH,M.Si
Anggota Anti Corruption Forum (ACF)

“Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan kekuatannya, jika tidak kuasa, dengan lisannya, jika tidak bisa juga, paling tidak dengan berdoa, dan yang terakhir ini merupakan iman yang paling lemah” (H.R.Muslim). 

Anggaran pendidikan menjadi sasaran empuk untuk dikorupsi. Selama 10 tahun terakhir, korupsi disektor pendidikan yang terungkap menyebabkan kerugian negara senilai 1,3 triliun. Dana yang paling rentan dikorupsi adalah dana aloksi khusus (DAK), dana biaya oprasional sekolah (BOS), dana infrasturuktur sekolah, sarana dan prasarana serta buku pelajaran.
Modus korupsi di sektor pendidikan, berupa penggelapan 132 kasus, penggelembungan nilai 110 kasus, pemotongan 51 kasus, penyalahgunaan anggaran 50 kasus, proyek fiktif 30 kasus dan lainnya 52 kasus. Lembaga pendidikan yang terlibat korupsi  adalah dinas pendidikan 214 kasus, sekolah 93 kasus, perguruan tinggi 35 kasus, pemkab/pemkot 26 kasus dan pemerintah provinsi 13 kasus. Pelakunya adalah pegawai dinas pendidikan 225 kasus, pegawai swasta 95 kasus, kepala dinas 77 kasus, kepala sekolah 65 kasus dan bendahara 27 kasus.
Lembaga Pendidikan
Secara umum, lembaga pendidikan dikelompokkan atas lembaga pendidikan negeri yang dikelola negara dan lembaga pendidikan swasta yang dikelola masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, badan hukum pendidikan (BHP) terdiri atas: 1. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), 2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) dan 3. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).  Badan hukum pendidikan penyelenggara (BHP), seperti  yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain.
       Pada kenyataannya, karena keterbatasan keuangan pemerintah , pada sisi lain tingginya peranserta masyarakat dalam mencerdaskan bangsa, maka sebagian besar lembaga pendidikan adalah swasta. Jumlah siswa dan mahasiswa swasta jauh lebih besar dari siswa dan mahasiswa negeri. Demikian juga guru, dosen, pimpinan lembaga pendidikan dan pegawai lembaga pendidikan sewasta lebih besar dari negeri. 
Asumsi salah
Ada asumsi dimasyarakat , bahwa pidana korupsi hanya menyentuh Pejabat Negara, Hakim, pegawai negeri, TNI, POLRI dan para pihak yang memiliki kaitan. Orang-orang yang bekerja di badan hukum Yayasan, sekolah/perguruan tinggi swasta, rumah sakit swasta dan lainnya tidak mendapat  jangkauan undang-undang tindak pidana korupsi. Misalnya, orangtua siswa mendatangi wali kelas, kepala sekolah atau Yayasan dari sebuah perguruan swasta yang semuanya non-PNS, meminta tolong agar anaknya diluluskan  serta memberi atau menjanjikan sesuatu (misalnya uang) tidak ranah korupsi.
Dalam dunia pendidikan, tidak asing bila orangtua siswa memberi hadiah bahkan memberi/menjanjikan sesuatu untuk nilai yang tinggi, kenaikan kelas, kelulusan sekolah, “cuci raport” untuk masuk PTN dan lainnya. Pada sisi lain, sudah rahasia umum, para guru, wali kelas, kepala sekolah menerima hadiah bahkan meminta imbalan dari siswa/orangtua siswa atas nilai, kenaikan kelas, kelulusan dan lainnya. Mereka,  tidak merasa tindakan yang dilakukan adalah pidana yang masuk ranah korupsi. Hal ini dapat dipahami, bahwa sebagian besar dari pasal-pasal Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebut pegawai negeri.
Pegawai negeri
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  memberi pengertian yang lebih luas tentang pegawai negeri. Pasal 1 ayat (2) menjelaskan  5 (lima) kelompok  yang masuk dalam keriteria  pegawai negeri dalam undang-undang tindak pidana korupsi.  Meliputi : 1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian. 2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pegawai Negeri berdasarkan Undang-Undang No.43 tahun 1999 tentang Pokok Kepegawaian, Pasal 1 bagian 1:  “Pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pegawai negeri terdiri atas PNS, TNI dan Polri. PNS terbagi atas PNS Pusat dan PNS daerah.
 Pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP adalah: “Perkataan pegawai negeri, mengandung sekalian orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan menurut undang-undang umum, serta sekalian orang yang oleh karena sebab yang lain daripada pilihan menjadi anggota Dewan Rakyat, Dewan Provinsi dan Dewan yang diadakan , demikian pula sekalian anggoata dewan subak dan sekalian kepala pribumi dan kepala orang timur asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah”.
PNS “Swasta”
Bagaimana posisi pendidik atau pegawai swasta di lembaga pendidikan swasta? Mengacu pada undang-undang tipikor, bagi pendidik dan pegawai pendidikan dikelompokkan sebagai PNS. Undang-undang tipikor khususnya  Pasal 1 ayat (2) nomor 4 , mengkategorikan PNS bagi  “orang” yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. 
Maka hampir dapat dipastikan, bahwa lembaga pendidikan swasta pernah atau terus menerima bantuan dari keuangan negara/daerah. Misalnya memperoleh dana DAK, BOS, bantuan sarana-prasarana, sertifikasi guru/dosen, bantuan pendidikan non-sertifikasi dan lainnya dari pemerintah pusat atau daerah. Bia jawabannya, “ya”, maka  setiap “orang”  pendidik/non pendidik yang menerima upah dari lembaga pendidikan yang menerima bantuan tersebut, digolongkan sebagai “PNS”.  
Dengan posisi hukum sebagai “PNS swasta”  tersebut , maka misalnya guru yang menerima “sumbangan” dari orangtua siswa  untuk kenaikan kelas, perpisahan kelulusan, Hari Guru dan lainnya menjadi “gratifikasi” atau “sogokan” yang harus dilaporkan ke KPK atau sebagai barang haram “korupsi”. Demikian juga siwa dan orangtua sebagai pemberi “sumbangan” kepada pendidik, menjadi pemberi “gratifikasi” atau “sogokan” kepada “PNS”.  
Pidana Korupsi
Ancaman pidana korupsi yang dapat didakwakan jaksa penuntut kepada  pendidik dan non pendidik di lembaga pendidikan telah diatur sebagaimana PNS dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Sebagian besar pasal-pasal pidana dalam undang-undang Tipikor untuk menjerat PNS. Oleh karena itu, pemberi “sumbangan” (siswa dan orangtua)  kepada penerima sumbangan (pendidik, non pendidik), menjadi kategori “gratifikasi” atau “sogokan” kepada “PNS swasta”. Pidana gratifikasi pemberi dan penerima pada Pasal 5 ayat (1) undang-undang tipikor adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00.
Pendekatan anti Korupsi
            Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan melihat persoalan korupsi di sekotor pendidikan  berada di daerah. Untuk menanggulanginya,  Kemendikbut akan menerapkan beberapa pendekatan. Pendekatan pertama, penerapan  e-purchasing untuk pembelian item barang yang memanfaatkan DAK dan BOS. dengan cara ini, diharapkan tidak ada lagi oknum yang bisa mencuri uang DAK dan BOS.
            Pendekatan kedua, adalah meningkatkan penggunaan transaksi tanpa uang tunai. Pendekatan ketiga, berupa pengkajian ulang semua petunjuk teknis DAK. Dengan cara ini kemungkinan orang terjebak dalam urusan administrasi dapat dikurangi. Perangkat peraturan kebijakan-kebijakan tersebut akan dilaksanakana tahun 2016 ini.  
Semoga….***








No comments:

Post a Comment