Tulisan
Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul: “Environmental Accounting Sumberdaya Hutan”,
telah dimuat pada Majalah bulanan Dandapala Mahkamah Agung-RI, edisi bulan
Juni 2015
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
Bila pada pengadilan tindak pidana korupsi, nilai “kerugian negara” dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), siapa dan bagaimana pula menghitung nilai “kerugian negara” dari pidana perusakan sumberdaya alam? Konsultan ekonomi lingkungan semisal Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam Indonesia (MASLI), Jaksa Penuntut Umum atau Hakim itu sendiri? Nilai kerugian negara perlu diketahui, sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan tingginya tuntutan oleh Penuntut Umum atas pidana denda, penjara dan subsider kurungan. Putusan pidana hakim perikanan, hakim lingkungan dan calon hakim perusakan hutan (Psl.53 UU No.18/2013) harus mempertimbangkan nilai kerugian negara. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum perhitungan nilai sumberdaya alam yang dirusak dan/atau dicemarkan oleh pelaku pidana. Tulisan ini fokus pada sumberdaya alam hutan, namun dengan metoda yang sama, dapat diterapkan pada sumberdaya perikanan dan sumberdaya alam lainnya.
Nilai
Ekonomi Hutan
Menurut
Davis dan Johnson (1987) nilai ekonomi merupakan persepsi harga yang diberikan
terhadap barang atau jasa pada waktu dan
tempat tertentu. Harga yang diberikan terhadap sesuatu barang atau jasa pada
dasarnya ditentukan oleh kesediaan individu untuk membayar (willingness to pay) yang lazim diukur
dengan nilai uang dalam transaksi kegiatan ekonomi atau nilai pasar (market value). Nilai ekonomi hutan berdasarkan nilai kesediaan untuk membayar
mempresentasikan kurva permintaan (demand).
Oleh karena itu, pada eksploitasi hutan yang
mengakibatkan kerusakan hutan maka nilai willingness
to pay akan semakin tinggi dengan semakin tingginya kerusakannya hutan. Pada
sisi lain, masyarakat yang terpaksa menanggung resiko atas kerusakan hutan akan
menerima nilai ekonomi (willing to accept)
yang mempresentasikan kurva supply. Dengan
demikian, kondisi optimum dalam pengelolaan hutan terjadi pada saat nilia willingness to pay sama dengan willing to accept .
Nilai
ekonomi merupakan salah-satu ukuran yang sering dijadikan dasar dalam analisa,
namun ukuran ini sangat relatif tergantung kepada sifat barang, hubungan dengan barang lainnya dan
orang yang menilai. Nilai yang dapat diukur umumnya hanya berdasarkan pada
sebagian karaktetistik yang terkait dengan keinginan atau preferensi seseorang.
Dalam hal ini kemampuan seseorang untuk menilai sangat berkaitan dengan tingkat kemakmuran (consumer surplus) dan mekanisme kelembagaan yang mengatur intraksi
berbagai keinginan. Salahsatu penilai nilai ekonomi hutan adalah Badan Pusat
Statistik (BPS).
Badan Pusat
Statistik (BPS) sebagai institusi pemerintah telah mengeluarkan produk nilai
ekonomi hutan dalam Produc Domestric
Regional Brotu (PDRB) sektor kehutanan. PDRB sektor kehutanan berdasrkan
nilai pasar (market value) dari hasil
kayu dan hasil non kayu yang terbatas.
Perhitungan PDRB menggunakan klasifikasi baku standar BPS, kurang akurat sebab terdapat manfaat hutan yang belum
terhitung. Misalnya nilai ekonomi hasil hutan yang langsung ke masyarakat, illegal logging, illegal trading, nilai tambah, rehabilitasi hutan, produksi air,
udara bersih, nilai keberadaan, efisiensi kelembagaan, manfaat hutan yang masuk ke sektor non hutan seperti
industri kayu gergajian dan awetan, industry kayu lapis dan sejenisnya,
industry bahan bangunan dari kayu, industri barang lainnya dari kayu masuk ke
sentor industri, jasa wisata hutan namun
masuk sektor jasa-jasa lainnya dan belum masuknya manfaat hutan yang bersifat negatif
seperti erosi dan deforestasi (Santosa,
2005). Oleh karena itu, tidaklah tepat mengambil nilai ekonomi hutan berdasarkan
PDRB kehutanan produk BPS sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan keadilan
yang se-adil-adil-nya.
Nilai
Manfaat Hutan
Nilai
manfaat hutan sangat ditentukan oleh hubungan timbal- balik antara subyek
penilai (manusia) yang memiliki berbagai nilai dengan obyek yang dinilai. Menurut Turner (1994) dan Young (1992) total
nilai ekonomi (total economic value)
hutan adalah penjumlahan nilai guna (use-value)
dihitung berdasarkan willingness to pay
dengan bukan nilai guna (non-ise value)
berupa nilai yang diberikan seseorang karena rasa simpatik atau penghargaan hak
(right) atas hutan. Total ekonomi hutan menurut Davids and
Johnson (1987) berupa penjumlahan nilai pasar (market value), nilai kegunaan (
value in use) dan nilai sosial (social
value). Suparmoko (2000) menetapkan total nilai ekonomi hutan atas penjumlahan
nilai penggunaan (instrument value/use value) dan
nilai yang terkandung di dalamnya (instristic
value/ non-use value).
Nilai manfaat
hutan, artinya selain menghitung nilai
ekonomi hutan yang langsung dibayar di pasar (willingness to pay) juga menghitung nilai-nilai yang tidak secara
langsung bernilai di pasar. Penghitungan semua nilai manfaat dari hutan baik
nilai manfaat langsung maupun nilai manfaat tidak langsung seringkali disebut
dengan valuasi ekonomi dengan metoda environmental accounting. Environmental accounting adalah penghitungan semua asset fisik yang
menyangkut semua hal yang berharga, tidak hanya modal-modal manufakctur (mesin,
pabrik, jalan), namun juga modal manusia (pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman) serta modal lingkungan hidup (environmental
capital) seperti hutan, kualias tanah, lingkungan hijau dan sebagainya.
Environmental Accounting Hutan
Penghitungan
nilai manfaat hutan dengan menganalisis manfaat hutan yang bernilai pasar
maupun tidak bernilai pasar yang manfaatnya dirasakan langsung maupun tidak
langsung. Dalam tulisan ini, penulis
mengelompokkan nilai manfaat utama hutan dihitung berdasarkan atas: (1) nilai
pasar (market value), (2) nilai
kegunaan ( value in use),(3)
nilai ekologi (ecology value) dan (4) nilai sosial (social value). Dari berbagai literatur, penulis mengelompokkon komponen manfaat hutan
berupa:
1. Nilai pasar (market value) teridiri atas:
(1) kayu bulat (logs) untuk penggergajian, (2) kayu
bahan pulp dan kertas (pulp woods), (3)
kayu lapis (palywood), (4) kayu limbah (waste) untuk bahan particle board, fibre board dan wastepaper , (5) bahan baku industri
penggergajian dan awetan, (6) bahan baku industri kayu lapis, (7) bahan baku
industri meubel dan bahan bangunan, (8) bahan baku industri pengolahan dengan
bahan baku kayu, (9) non-kayu (getah, damar, bambu, dan lainnya), (10)
bahan ekstraktif (gums, resins and oils), (11) nilai pasar yang hilang akibat illegal logging, dan (12) nilai pasar
yang hilang akibat illegal trading.
2. Nilai kegunaan ( value in use) manfaat hutan untuk:
(1) jasa wisata, (2) air minum
masyarakat desa dan perkotaan , (3) air untuk irigasi, (4) air untuk
perkebunan, (5) air untuk industri, (6) air untuk perikanan, (7) air untuk
peternakan, (8) udara bersih untuk kesehatan, (9) udara untuk pengendali iklim,
(10) penghambat pemanasan global, (12)
penghasil carbon (carbon trade), (13) plasma nuftah, (14) pendidikan, (15) nilai
tambah, (16) nilai keberadaan, (17) rehabilitasi hutan, (18) rehabilitasi lahan
dan (19) kehilangan nilai tambah.
3. Nilai ekologi (ecology
value) manfaat hutan berupa:
(1) perlindungan daerah aliran
sungai (DAS), (2) perlindungan atas daya tangkap air (cathment protection), (3)
ekologi dan konservasi satwa liar (ecology
and wildlife conservation), (4) pengendalian erosi tanah (soil erosion control), (5) pengendalian deforestasi, (6) pengendalian
produktifitas lahan, (7) pengendalian dis-efisiensi hara, (8) pengendalian
lapisan top soil, (9) pengendalian produksi
tanaman, (10) pengendalian banjir , (11) pengendalian lonsor, (12) pengendalian
sumberdaya hayati dan (13) keberadaan
pilihan pelestarian ( pengatur cuaca,
pengatur atas air, penghasil udara bersih, penyerap pencemaran udara,dan lain-lain).
4. Nilai sosial (social value) hutan terdiri atas:
(1) kayu untuk bahan bangunan
tempat tinggal (building poles),
(2) kayu bakar “rencek” dan arang kayu (fuelwood and charcoal), (3) bahan-bahan
anyaman (weaving materials), (4) kayu
special (special woods and ashes), (5) nilai religi hutan, (6) nilai budaya
hutan, (7) nilai hasil hutan yang langsung dikonsumsi masyarakat , (8) nilai
ekonomi masyarakat berupa daun untuk makanan ternak, (9) pekerja peramu hasil hutan, (10) pekerja industri kehutanan,
(11) efisiensi kelembagaan, (12) rehabilitasai hutan dan lahan (penyiapan
lahan, pengadaan bibit dan penanaman)
dan (13) kesenangan lainnya.
Pemodelan
Nilai manfaat Hutan
Sistem adalah mekanisme yang beroperasi di dunia nyata, maka model
merupakan abstraksi (abtraction) atau penyederhanaan (simplication) dari suatu system. Tentu
saja suatu model tidak mungkin memiliki semua atribut dari sistem. Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran
terhadap sistem yang rumit, memerlukan biaya besar, sulit ataupun
destruktif pada sistem nyata (Maamena,
2003).
Permodelan diawali dengan menguraikan seluruh komponen yang akan
mempengaruhi efektivitas dari operasi suatu sistem. Dalam hal ini adalah
komponen utama dan komponen nilai manfaat hutan. Langkah selanjutnya adalah
penyaringan komponen mana yang akan dipakai dalam pemebuatan model. Suatu
model dibentuk karena adanya hubungan sebab - akibat (causal) yang
mempengaruhi struktur didalamnya baik secara langsung antar dua struktur,
maupun akibat dari berbagai hubungan yang terjadi pada sejumlah struktur,
hingga membentuk umpan - balik (causal loop). Kausal
loop yang mempengaruhi positif (similarity)
diberi tanda “S” dan kausal loop yang mempengaruhi negative (opportunity) diberi tanda “ O”.
Selanjutnya
pembuatan model berdasarkan causal loop
dengan memasukkan memasukkan equation
wondows model. Equation wondows model, adalah causal
loop model dalam bentuk rumus-rumus matematik dalam pemorograman. Setelah
pengujian hasil Equation windows Simulasi adalah kegiatan pelaksanaan percobaan model,
secara teratur dan direncanakan. Dalam model kuantitatif simulasi
dilakukan dengan memasukkan data-data ke
dalam model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui prilaku gejala atau
proses.
Dalam
dekade terakhir ini simulasi menjadi suatu peralatan penting dalam
mengambil keputusan. Hal ini terutama
akibat tersedianya perkembangan perangkat keras (hardward) dan perangkat lunak (software)
komputer. Dengan adanya komputer, maka model – model simulai pada umumnya
adalah model matematik. Saat ini pembuatan
model system dynamics umumnya dilakukan dengan menggunakan software yang dirancang khusus. Sofware
tersebut seperti Powersim, Vensim, Stella, dan Dynamo.
Dengan software tersebut model dibuat
secara grafis dengan simbol-simbol atas variabel dan hubungannya. Untuk
praktisnya penghitungan nilai sumberdaya alam, ada baiknya Mahkamah Agung
membuat program pemodelan “environmental accounting” untuk panduan hakim.
Penulis
pernah membuat beberapa permodelan, misalnya model perhitungan nilai sumberdaya alam terumbu
karang, pemodelan daya dukung sumberdaya alam dan pemodelan manajemen
pengelolaan sumberdaya alam menggunakan Sofware Powersim
2005. Pemilihan Powersim
sebagai perangkat lunak simulasi model karena kemudahannya dan kecanggihannya
yang terus berkembang namun ramah pengguna (Muhammadi et al., 2001).***
No comments:
Post a Comment