Tulisan
Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul: “Ekolabeling
Minyak (Perkebunan) Kelapa Sawit”, telah dimuat pada SK.Perestasi Reformasi di
Medan, No.477, tanggal 19 Nopember 2015, hal. 7, kol.1-4
Hamzah Lubis,
Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim
Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal Medan *Pusat Kajian Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS
HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS
*aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan
Ekolabeling
Konsumen dunia semakin
menyadari pentingnya mengkonsumsi produk
yang bukan saja berkualitas yang tinggi, dengan harga yang ekonomis tetapi juga
dihasilkan dari serangkaian kegiatan yang mengadopsi sistem pembangunan
berkelanjutan. Demikian juga konsumen dalam negeri, dalam 5-10 tahun mendatang,
akan mengarah pada tuntutan produk ramah lingkungan. Industri yang tidak memenuhi permintaan gaya
hidup ini akan kesulitan bersaing.
Beranjak dari kondisi ini,
pemerintah meluncurkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 2014
tentang Pencantuman Logo Ekolabel. KLH menyatakan, produk yang kemasannya
terdapat logo ekolabel telah melalui proses produksi yang memenuhi aspek
lingkungan hidup. Proses lingkungan hidup mulai dari perolehan bahan baku,
proses peroduksi, distribusi, penggunaan dan pembuangan sisa produk.
Terdapat dua logo ekolabel
yang diterbitkan dua lembaga yang berbeda. Logo ekolabel Indonesia yang
diterbitkan Lembaga Sertifikasi Ekolabel (LSE) dan logo Ekolabel
Swadeklarasi yang diterbitkan Lembaga
Verifikasi Ekolabel (LVE). LSE diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional
sedangkan LVE diregistrasi Kementerian Lingkungan Hidup.
Keikutsertaan perusahaan dalam program produk berlabel
lingkungan ini ada yang bersifat sukarela dan bersifat wajib. Program
sertifikasi yang wajib misalnya sertifikasi Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) oleh Kementerian Pertanian dan sertifikasi
Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) oleh Kementerian Kehutanan.
Ekolabel Minyak Sawit
Sebagaimana diketahui,
sebagian besar produk minyak kelapa sawit di ekspor. Oleh beberapa negara maju (khususnya
Eropa), pada beberapa waktu yang lalu
melakukan penolakan minyak CPO Indonesia
yang dalam memproduksi minyaknya dituduh melanggar / merusak lingkungan dan
hutan tropis. Menurut mereka, pembangunan kelapa sawit Indonesia
diantaranya mengakibatkan: (a)
meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan gambut , (b) menurunnya
konservasi dan biodiversitas, (c)
meningkatnya emisi karbon dan efek gas rumah kaca, (d) masalah
keberlanjutan dan daya saing , (e) penyebab bencana alam seperti banjir dan
tanah longsor, (7) hilangnya budaya masyarakat disekitar hutan dan (8)
lingkungan rusak akibat pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkendali.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi hukum pasar, suka atau tidak suka
sebagai produsen CPO harus mengikuti selera konsumen dan pasar. Untuk itu, pemerintah Indonesia membuat
kebijakan mengenai pembangunan perkebunan dan kelangsungan industri kelapa
sawit Indonesia yang berkelanjutan. Pemerintah mengharuskan adanya jaminan
(sertifikat) bahwa perkebunan dan pabrik kelapa sawit dibangun dan dikelola
berdasarkan asas berkelanjutan (sustainable).
Sistem manajemen sertifikasi pada perkebunan kelapa sawit dapat berupa: ISPO Certification, RSPO Certification didukung ISCC certification, ISO Certification dan SMK3 Certification.
Sertifikasi minyak sawit yang baru adalah Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). IPOP merupakan komitmen perusahaan penandatangan untuk menjalankan
usaha kelapa sawit secara berkelanjutan dengan menerapkan praktik bisnis tanpa
deforestasi, memberdayakan petani kecil dan meningkatkan citra minyak kelapa
sawit asal Indonesia sebagai produk berkelanjutan.
Sertifikat ISPO
ISPO adalah sertifikat label lingkungan
minyak sawit Indonesia, Indonesian Sustainable Palm Oil.
ISPO bersifat mandatory (kewajiban) yang
harus dijalankan oleh perusahaan perkebunan dan petani sawit di Indonesia
berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19 Tahun 2011 tentang Sertifikasi
Standar Minyak Sawit Berkelanjutan. ISPO mengatur ketentuan bidang perkebunan
sawit di Indonesia sebagai negara produsen. ISPO ini bertujuan untuk : (a) meningkatkan
kesadaran pengusaha kelapa sawit Indonesia untuk memperbaiki lingkungan, (b) meningkatkan
daya saing minyak sawit Indonesia di luar negeri dan (3) mendukung program
pengurangan gas rumah kaca, juga yang menjadi persyaratan utama negara pembeli
bagi palm oil biodiesel.
Sertifikasi ISPO diperlukan
untuk memastikan perusahaan dan usaha
perkebunan kelapa sawit menerapkan prinsip dan keriteria ISPO secara benar dan
konsisten dalam menghasilkan minyak sawit yang berkelanjutan. ISPO wajib bagi
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan usaha terintegrasi antara
kebun dan pengolahan, usaha budidaya kelapa sawit dan usaha pengolahan hasil
kelapa sawit. Sedangkan untuk untuk perkebunan sawit plasma, swadaya, dan
perusahaan yang memproduk kelapa sawit untuk energy terbarukan atau biodiesel
bersifat sukarela.
Kendati bersifat wajib, realisasi
sertifikasi ISPO lamban. Dari 757 perusahaan dan usaha perkebunan kelapa sawit
dan pengolahan yang wajib mendapatkan sertifikat ISPO, baru 97 perusahaan yang
sudah mengantongi sertifikat ISPO, 562
perusahaan baru mengajukan permohonan sertifikasi dan 98 perusahaan lainnya yang belum mengajukan
permohonan sertifikasi sama sekali.
Sertifikat RSPO
RSPO adalah sertifikat label lingkungan internasiohal untuk minyak sawit, Roundtable on Sustainable Palm Oil.
Berbeda dengan ISPO, RSPO bersifat sukarela (voluntary) yang tidak wajib diikuti perkebunan dan petani sawit
Indonesia. Namun label RSPO menjadi acuan bagi ekspor-impor sawit dunia
(permintaan sawit dunia).
Menurut Direktur RSPO-Indonesia, Desi Kusuma
Dewi, pada tahun 2015 beberapa negara Eropa, seperti Belgia, Belanda, Perancis
dan Swedia akan membeli 100 persen minyak sawit berkelanjutan berlabel RSPO.
Pada tahun 2018 negara Denmark dan Norwegia akan member minyak sawit sertifikat
RSPO. Pada tahun 2020 seluruh negara Eropa diharapkan sudah mengadopsi
penggunaan minyak sawit bersertifikat RSPO, termasuk diantaranya negara
Belanda.
Data RSPO menunjukkan produksi
CPO bersertifikat RSPO terus meningkat
tiap tahun. Pada tahun pertama sertifikasi RSPO dimulai (2008) produk CPO
bersertifikart RSPO baru 163.364 ton. Pada tahun 2010 naik menjadi 2,77 juta
ton, pada tahun 2013 sebesar 8,75 juta ton dan tahun 2014 sebesar 11 juta ton.
Hingga bulan Mei 2015 CPO bersertifikat RSPO sudah mencapai 4,09 juta ton.
Penutup
Tedapat tujuh perinsip pengembangan kelapa sawit berkelanjutan sebagai
syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Prinsip tersebut meliputi: (1).
sistem perijinan dan manajemen perkebunan, (2). penerapan pedoman teknis
budidaya dan pengelolaan kelapa sawit , (3). pengelolaan dan pemantauan lingkungan,
(4). tanggung jawab pada pekerja, (5). tanggung jawab perusahaan pada individu
dan komunitas, (6). pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat , dan (7).
komitmen terhadap perbaikan ekonomi terus menerus. ISPO juga terdiri dari 40 kriteria dan 128
indikator dan semua indikator bernilai sama. (ISPO, hal.3).
Prinsip
3, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
berupa: (1) melaksanakan AMDAL, UKL dan UPL , (2) pencegahan kebakaran,
pelestarian biodiversity, (3) lindungan suaka alam (nilai konservasi tinggi),
(4) mengusahakan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan menghindari
penyebabnya dan (5) konservasi kawasan
yang potensial akan bererosi tinggi dan kawasan pinggiran sungai. Bila kewajiban perkebunan ini dilaksanakan,
tentu tidak akan terjadi kebakaran dan bencana asap yang menelan belasan jiwa.
Ia kan…***
Nama : Pandu Pradana
ReplyDeleteNim : 16202041
XPLI EXTENTION
Jurusan Teknik Mesin
Di sebagian besar produk minyak kelapa sawit di ekspor. Oleh beberapa negara maju (khususnya Eropa), pada beberapa waktu yang lalu melakukan penolakan minyak CPO Indonesia yang dalam memproduksi minyaknya dituduh melanggar / merusak lingkungan dan hutan tropis. Menurut mereka, pembangunan kelapa sawit Indonesia diantaranya mengakibatkan: (a) meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan gambut , (b) menurunnya konservasi dan biodiversitas, (c) meningkatnya emisi karbon dan efek gas rumah kaca, (d) masalah keberlanjutan dan daya saing , (e) penyebab bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, (7) hilangnya budaya masyarakat disekitar hutan dan (8) lingkungan rusak akibat pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkendali.Oleh karena itu dibutuhkan perhatian serius dalam pelaksanaan AMDAL,UKL, dan UPL.Sertifikasi ISPO adalah sertifikat label lingkungan untuk minyak kelapa sawit.Sertifikat ISPO diperlukan untuk memastikan perusahaan dan usaha perkebunan kelapa sawit menerapkan prinsip dan kriteria ISPO dengan benar dan konsisten dalam menghasilkan minyak sawit berlanjutan.
Nama : Pandu Pradana
ReplyDeleteNim : 16202041
XPLI EXTENTION
Jurusan Teknik Mesin
Di sebagian besar produk minyak kelapa sawit di ekspor. Oleh beberapa negara maju (khususnya Eropa), pada beberapa waktu yang lalu melakukan penolakan minyak CPO Indonesia yang dalam memproduksi minyaknya dituduh melanggar / merusak lingkungan dan hutan tropis. Menurut mereka, pembangunan kelapa sawit Indonesia diantaranya mengakibatkan: (a) meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan gambut , (b) menurunnya konservasi dan biodiversitas, (c) meningkatnya emisi karbon dan efek gas rumah kaca, (d) masalah keberlanjutan dan daya saing , (e) penyebab bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, (7) hilangnya budaya masyarakat disekitar hutan dan (8) lingkungan rusak akibat pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkendali.Oleh karena itu dibutuhkan perhatian serius dalam pelaksanaan AMDAL,UKL, dan UPL.Sertifikasi ISPO adalah sertifikat label lingkungan untuk minyak kelapa sawit.Sertifikat ISPO diperlukan untuk memastikan perusahaan dan usaha perkebunan kelapa sawit menerapkan prinsip dan kriteria ISPO dengan benar dan konsisten dalam menghasilkan minyak sawit berlanjutan.
Nama : Jimmy ray manurung
ReplyDeleteNim : 16202095
Jurusan : Teknik Mesin
M.Kuliah:Pengendalian Lingkungan Industri
menurut pendapat saya,
bahwasannya pemerintah meluncurkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel. KLH menyatakan, produk yang kemasannya terdapat logo ekolabel telah melalui proses produksi yang memenuhi aspek lingkungan hidup. Proses lingkungan hidup mulai dari perolehan bahan baku, proses peroduksi, distribusi, penggunaan dan pembuangan sisa produk.Oleh beberapa negara maju (khususnya Eropa), pada beberapa waktu yang lalu melakukan penolakan minyak CPO Indonesia yang dalam memproduksi minyaknya dituduh melanggar / merusak lingkungan dan hutan tropis. Menurut mereka, pembangunan kelapa sawit Indonesia diantaranya mengakibatkan: (a) meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan gambut , (b) menurunnya konservasi dan biodiversitas, (c) meningkatnya emisi karbon dan efek gas rumah kaca, (d) masalah keberlanjutan dan daya saing , (e) penyebab bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, (7) hilangnya budaya masyarakat disekitar hutan dan (8) lingkungan rusak akibat pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkendali.Oleh karena itu, sebagai konsekuensi hukum pasar, suka atau tidak suka sebagai produsen CPO harus mengikuti selera konsumen dan pasar. Untuk itu, pemerintah Indonesia membuat kebijakan mengenai pembangunan perkebunan dan kelangsungan industri kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan. Pemerintah mengharuskan adanya jaminan (sertifikat) bahwa perkebunan dan pabrik kelapa sawit dibangun dan dikelola berdasarkan asas berkelanjutan (sustainable).