TAPAL BATAS NKRI

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.M.Si berjudul: “Tapal Batas NKRI” dimuat pada Tabloti NU Nes, No. 5  Edisi Minggu Ke-4 September  2011 hal. 5 Kol.1-4 
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan






TAPAL  BATAS  NKRI
Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr

Indonesia terlalu sering dipecundangi keluarga serumpun  Malaysia. Dari masalah TKI yang mendapat penyiksaan, pencaplokan hak kekayaan intlektual (HAKI) atas budaya dan kesenian seperti angklung, reog dan  batik  sampai pada pencaplokan  teritorial NKRI (Sipadan dan Ligitan) dan proses aneksasi blok Ambalat.  Masalah tapal batas,  mula-mula menguasai  pulau Sipadan dan Ligitan (de facto), lalu menguasai (de jure) melalui Mahkamah Internasional, tanggal  17 Desember 2002. Dengan pola yang sama,  Malaysia kembali klaim Blok Ambalat ( kaya minyak dan gas) menjadi teritorialnya dan memberi konsesi kepada Petronas (BUMN-Malaysia) dan Shell tanggal 16 Februari 2005 untuk mengekplorasi minyak di Blok Ambalat. Sejak saat itu, Ambalat menjadi daerah panas,  kapal-kapal perang Indonesia berhadapan dengan kapal-kapal perang Malaysia. Kapal laut dan pesawat udara Malaysia telah memasuki teritorial Indonesia secara tidak sah sebanyak  76 kali selama tahun 2007,  23 kali selama tahun 2008 dan  13 kali (2009).
Sebagai Negara kepulauan (Unclos,1982), Indonesia berhak atas laut teritorial (12 mill),  zona tambahan (24 mill), ZEE (200 mill) dan landas continental/dasar laut (350 mill bahkan lebih). Batas darat Indonsia-Malaysia di Kalimantan telah disepakati, garis itu melalui dan berhenti  di ujung timur Pulau Sebatik pada 401000 LU. Idealnya, garis batas diteruskan ke-arah laut di sebelah timur sebagai garis batas maritim; yang memisahkan Indonesia –Malaysia. Ini yang belum disepakati, dan ini yang menjadi sumber permasalahan.
Dalam persfektif hukum internasional penyelesaian tapal batas antar negara hanya dapat diselesaikan dengan perundingan (sudah 13 putaran) atau peradilan internasional. Membawa perselisihan tapal batas negara ke Mahkamah Internasional, mengingatkan trauma kekalahan pada Pulau Sipadan dan Ligitan. Pengalaman kekalahan di Mahkamah Internasional (MI), bukan karena lemahnya bukti-bukti historis dan  yuridis tetapi hakim Mahkamah Internasional dalam mengambil keputusan lebih berdasarkan pertimbangan bukti penguasaan efektif (effective occupation).
Penguasaan efektif telah dilakukan Malaysia terhadap Sipadan dan Ligitan selama pululan tahun yang meliputi: (1) keberadaan secara terus menerus (continuous  present),  (2)  penguasaan secara efektif (effetive occupation) termasuk aspek administrasi dan  (3) perlindungan dan pelestarian ekologi ( maintainance and ecological reservation) dari kedua pulau tersebut.  Oleh karena itu, belajar dari kekalahan mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, maka penguasaan secara efektif atas blok Ambalat (tentu dengan TNI-AL/Udara) adalah sebuah keharusan.
Yang harus disadari oleh pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, masalah Ambalat satu dari sekian banyak masalah tapal batas dengan berbagai negara tetangga, yang belum selesai dan  setiap saat bisa meledak. Sebagai titik garis pangkal pengukuran wilayah Indonesia, terdapat 92 pulau-pulau kecil  terluar (PP No.38 th.2002), diantaranya terdapat 12 pulau tergolong memiliki tingkat ancaman tertinggi baik ditinjau dari asfek  kerusakan lingkungan hingga kemungkinan lenyapnya  pulau itu maupun kemungkinan disintegrasi bangsa. Pulau yang memiliki ancaman tertinggi yaitu  Pulau Berhala (Sumatera Utara), Nipah, Rondo, Sekatung,  Morere, Miagas, Marampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo dan Brass.
Hingga saat ini  terdapat beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga yang belum terselesaikan secara tuntas, antara lain dengan Malaysia, Singapura, Australia, Philipina, Vietnam, RRC, India, Tomor Lorosae dan Papua Newgienie.
Hal ini diperparah dengan kondisi pulau-pulau kecil terluar yang kurang mendapat perhatian pemerintah sehingga seperti pulau-pulau yang tidak terurus. Kondisi wilayah perbatasan laut khususnya pulau-pulau kecil terluar Indonesia  pada umumnya: 
1). Tidak ada perhatian dari pemerintah dalam pengembangan prasarana karena dinilai tidak ekonomis, lokasinya jauh dari pusat pemerintahan serta penduduknya tidak ada;
2). Pengawasan perbatasan yang lemah sehingga mengakibatkan rawan pelanggaran batas wilayah dan okupasi negara lain (pertahanan).
3). Aparat penegak hukum yang sangat terbatas sehingga rawan terhadap masalah pelanggaran hukum.
4). Terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya alam laut dan berbagai aspek lingkungan lainnya.
5). Belum termanfaatkannya potensi yang besar menyangkut letak geografis yang sangat strategis ( untuk perdagangan, pariwisata, pangkalan, dll ).
            Beranjak dari kondisi ini, dalam menghadapi isu tapal batas, penulis menyampaikan saran:
Pertama: issu tapal batas Indonesia dengan Negara-negara tetangga, ibarat api dalam sekam, terus panas dan satu saat akan berkobar. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban melindungi NKRI (darat, laut, udara) termasuk blok Ambalat dan sesegera mungkin  mengelola pulau-pulau kecil terluar (effective occupation) sebagai beranda depan Negara.
Kedua, kebijakan hubungan bilateral sebagai suatu hal yang sangat berharga dan perlu dipertahankan  dalam menyikapi konflik tapal batas negara dan perlu mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, perundingan tapal batas sering alot, lama dan melelahkan dan sering harus  diselesaikan melalui Mahkamah Internasional atau campur tangan negara lain. Ada kemungkinan, Malaysia sengaja memprovokasi TNI-AL agar melakukan tindakan balasan (misalnya penembakan) untuk menginternasionalisasi permasalahan. Di peradilan, lobi-lobi dan tekanan polotik tidak akan terhindarkan, termasuk tekanan dari negara asal perusahaan yang mengekplorasi Blok Ambalat (kepentingan ekonomi) dan juga Group Negara Persemakmuran. Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat Indonesia harus berkepala dingin menghadapi isu Ambalat, tidak terpancing  dengan provokasi, hindarkan internasionalisasi masalah dan terus lakukan perundingan.
Keempat, Indonesia telah merdeka selama 64 tahun, namun belum berdaulat penuh. Tapal batas negara Indonesia pada beberapa titik per batasan  belum jelas karena belum diakui negara tetanga, yang setiap saat bisa diklaim dan dikuasai negara lain. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melalukan perundingan-perundingan tapal batas dengan terencana dan professional  dari semua tapal batas yang belum disepakati. Semoga ada manfaatnya. Amin.***

.












No comments:

Post a Comment