pidana korporasi bidang perikanan

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul “Pidana Korporasi Bidang Perikanan”, telah dimuat pada SK.Perestasi Reformasi di Medan, No.479 tahun 16 , tanggal 4 Desember 2015, hal.6, kol.1-4 

                                                                      Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
                                                                             *KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan 





























PIDANA KORPORASI BIDANG PERIKANAN
Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH,M.Si

“Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS.Hud:85).  
Hukum dapat tegak apabila aparatur hukumnya, peraturan hukumnya dan  masyarakat hukumnya baik.  Aparatur hukum yang baik, adalah yang profesional pada bidangnya. Cirinya  memiliki ilmu (Hukum acara, materil dan lainnya),  kemampuan,  skill, pengalaman dan memahami perkembangan hukum dan permasalahannya. Demikian disampaikan Hakim Agung,  Dr. Suhadi, SH, MH, pada pembukaan Peningkatan Kemampuan Teknis (Refreshing Coach) Hakim Perikanan tahun 2015 di Hotel  Savoy Homan, Bandung 1-4 Desember 2015 lalu. Kegiatan ini dihadiri 50 hakim perikanan dari 10 pengadilan perikanan yang terdiri 36 hakim adhoc dan 14 hakim karir.
Perkembangan pidana perikanan, menurut Asep Burhanuddin, Dirjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, KKP-RI  telah bergeser dari pidana pencurian ikan oleh orang per orang ke korporasi. Motif pidana perikanan telah bergeser dari motif ekonomi ke motif penghancuran negara atau penggabungan keduanya. Data menunjukkan 60-70 persen nakhoda dan ABK kapal ikan asing adalah residivis di negara asal kapal. Karena menjadi “sampah” dinegaranya, mereka dipaksa untuk “mencuri” ikan dan menghancurkan negara asing dengan menularkan penyakit Aids pada perempuan. Perubahan motif dan cara pencurian ikan menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum.

Pengertian Korporasi
Korporasi dalam arti sempit adalah badan hukum, yang keberadaan dan kewenangannya dapat melakukan perbuatan hukum oleh hukum perdata. Korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person).
Korporasi    dalam arti luas adalah badan hukum atau bukan badan hukum sesuai hukum pidana Indonesia. Korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, melainkan juga bukan badan hukum (menurut hukum perdata tidak dapat dikualisifikasikan sebagai badan hukum). Korporasi adalah sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki pimpinan serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama perkumpulan orang tersebut.
Pertanggungjawaban pidana korporasi untuk pertama kalinya, diatur dalam undang-undang tindak pidana ekonomi (UU No.7 Drt tahun 1955). Undang-undang tersebut merupakan adopsi dari Wet op Economische Delicten Negeri Belanda. Sekarang ini, pertanggungjawaban pidana korporasi telah diatur dalam berbagai perundang-undangan .

         Pidana Korporasi Perikanan
Dalam teori hukum pidana, pertanggung-jawaban pidana korporasi disebut pertanggung jawaban fungsional. Teori tersebut belum banyak dikenal sehingga tidak tampak dalam berbagai putusan pengadilan. Akan tetapi rancangan KUHP telah menerima teori tersebut, dan telah masuk draf RUU  pada pragaraf 6 (enam) tentang korporasi.
Pidana korporasi perikanan, mengacu Psl 1 ayat (14) UU No.45 tahun 2009  yang menyatakan:”Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi”. Pasal ini dengan jelas mengatur secara tegas, jika sebuah korporasi melakukan tindak pidana, maka: (1) korporasi itu sendiri dapat dituntut dan dikenakan hukuman, (2) terhadap orang yang memegang kendali dari tindak pidana tersebut, (3) baik terhadap korporasi maupun pemegang kendali terjadinya tindak pidana.
Yang sering diminta pertanggung-jawaban pidana perikanan adalah orang perorangan atau sekelompok orang. Kontruksi hukumnya, bahwa nakhoda kapal penangkap ikan dan ABK melakukan tindak pidana di bidang perikanan selalu menggunakan nama perusahaan. Hal ini terlihat dari adanya Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Pengangkutan Ikan (SIKPI) dan lainnya. Semua kegiatan ini memberi keuntungan pada korporasinya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan kerja antara nakhoda kapal dan ABK dengan korporasi. Dengan demikian korporasi dapat dituntut kendati  KUHP hanya mengenal pertanggung jawaban pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke person).
Pertangung jawaban pidana bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri karena disamping terkait dengan suatu jenis perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, juga berhubungan dengan subyek yang dapat dimintai pertanggung jawaban tersebut. Dengan kata lain, undang-undang harus terlebih dahulu menentukan siapa siapa yang merupakan subyek yang dapat dipertanggung jawabkan dalam suatu tindakan dan memiliki dasar-dasar yang patut untuk dipidana.

         Kelemahan UU Perikanan
Berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia, pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggung jawaban pidana dalam kejahatan korporasi: (1) dibebankan kepada korporasi itu sendiri (Psl.65 ayat (1) UU No.38 tahun 2004 tentang Jalan, (2) dibebankan kepada organ, pengurus korporasi,  pimpinan yang melakukan tindak pidana (Psl. 20 ayat (2) UU No.31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan, dan (3) dibebankan kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi (Psl. 20 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999).
Pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang perikanan, yang dapat dituntut atas tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang melakukan langsung (dilapangan) tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka. Pasal 101 tindak pidana perikanan yang dilakukan korporasi, tuntutan dan saksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditmbah 1/3 (spertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Untuk menuntut korporasi, langkah yang dapat diambil adalah: pertama, terlebih dahulu harus ditetapkan bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana tersebut; kedua, terdakwa adalah orang yang memegang kendali atas tindakan tersebut.  Untuk subyek hukum korporasi selain diberikan pidana denda perlu adanya pidana tambahan pencabutan ijin usaha dan perampasan aset apabila tidak mampu membayar denda.
Dengan demikian, meskipun korporasi diakui sebagai pelaku tindak pidana, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup represif terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No.7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah: (a) badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau (b) mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/ penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian; atau (c) kedua-duanya (a dan b).
Undang-undang No. No.7 Drt 1955  jauh lebih maju memidanakan korporasi dibanding dengan UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan. Untuk menyelamatkan sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya aiar, perbaikan undang-undang perikanan menjadi kebutuhan. Semoga…

No comments:

Post a Comment