penahanan pidana penjara dan subsider di zee

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul Tinjauan Hukum: Penahanan, Pidana Penjara, dan Subsider Kurangan di ZEE-Indonesia,  telah dimuat pada Jurnal Varia Peradilan Mahkamah Agung-RI, No. 341, Edisi April tahun 2014, hal. 61-67 

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan










TINJAUAN HUKUM: PENAHANAN, PIDANA PENJARA, 
DAN SUBSIDER KURUNGAN  DI ZEE INDONESIA

Pendahuluan
Wilayah hukum di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia adalah wilayah hukum yang baru yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga permasalahan di ZEE menjadi isu yang hangat untuk didiskusikan. Hukum adat  kerajaan-kerajaan nusantara3, hukum masa penjajahan sampai hukum pasca kemerdekaan tidak mengenal wilayah hukum  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE-Indonesia). Rezim hukum laut yang dikenal hanya laut kepulauan, laut teritorial dan laut bebas. Zona Ekonomi Eksklusif menjadi wilayah hukum dari suatu negara ketika ditandatanganinya hasil-hasil Konferensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention On The Law Of The Sea - UNCLOS) ketiga tahun 1982. Sacara hukum, Indonesia memiliki ZEE ketika meratifikasi UNCLOS  dengan Undng-Undang Nomor 17 tahun 1985. Oleh karena wilayah hukum ini baru, maka banyak pihak melihat wilayah hukum ini sebagai wilayah laut kepulauan atau sebagai wilayah laut teritorial sehingga penerapan hukum di ZEE-Indonesia  sebagaimana hukum di laut kepulauan atai di laut teritorial Indonesia.

Perjuangan panjang mendapatkan ZEE-Indonesia
            Indonesia telah lama berjuang untuk menjadi negara kepulauan dan mendapatkan pengakuan hak-hak atas ZEE. Indonesia telah mendeklarasaikan diri sebagai negara kepulauan (Deklarasi Juanda, 1957) yang langsung mendapat protes dan penolakan dari negara-negara maritim, meratifikasi Konvensi Hukum Laut Pertama Tahun 19584 untuk konvensi “High Seas” dan  “Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas” kemudian ditolak PBB karena menggunakan reservations5, penetapan  Garis-garis Pangkal Perairan Nusantara dengan UU No. 4/Prp/1960  yang mendapat protes yang keras dari negara-negara maritim. Indonesia terus berjuang untuk pengakuan negara kepulauan dengan penetapan PP No. 8/1962 tentang “Innocent Passage”, Keppres No. 103/1963 yang menjadikan seluruh perairan Indonesia sebagai “satu lingkungan laut” di bawah pengawasan TNI AL, Pengumuman Pemerintah 1969 tentang konsepsi Landas Kontinen  kemudian mengundangkannya menjadi UU No. 1/1973. Semua ini belum mendapatkan pengakuan internasional.
Melalui Konferensi Hukum Laut ketiga tahun 1982, konsepsi Inonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state) diterima. Dari negara pulau yang lebar laut teritorial hanya selebar 3 mill6  yang memisahkan antar pulau dengan laut bebas menjadi negara kepulauan yang memiliki perairan kepulauan melingkupi titik-titik terluar pulau dan lebar laut teritorialnya selebar 12 mill di luar laut kepulauan. Dengan  UNCLOS  telah menambah luas lautan Indonesia dari 100.000 km2 menjadi 5.800.000 km2  yang terdiri atas laut teritorial dari 100.000 km2 menjadi 3,1 juta km2 dan perairan ZEE  dari semula 0,0 km2 menjai 2.700.000 km2  serta menambah luas udara Indonesia dari 2.000.000 km2 menjadi 5.000.000 kilo meter bujur sangkar7. Luas lautan Indonesia masih dimungkinkah akan bertambah karena Indonesia memiliki hak  mengajukan klaim continental shelf berdasarkan UNCLOS. Disamping itu, Indonesia juga dapat ikut mengelola kepentingan-kepentingannya di luar ZEE (di Laut Bebas) dan di luar Continental Margin di dasar laut internasional.

Status Hukum Wilayah Laut ZEE-Indonesia
            Indonesia adalah negara bahari – dua pertiganya adalah lautan -- tetapi pembangunan --termasuk pembangunan hukum-- selama ini  berorientasi ke darat menyebabkan rendahnya pemahaman terhadap perundang-undangan di bidang kelautan8.  Oleh karena itu, Bapak Hatta Ali,  Ketua Mahkamah Agung-RI  menekankan pentingnya peningkatan pengetahuan dan keterampilan warga pengadilan untuk menjadi hakim yang profesional dan berintegritas9. Hakim yang profesional harus memiliki kapasitas pengetahuan hukum baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional10 yang berkaitandengan perkara yang disidangkannya.
Sebagai wilayah hukum yang baru, laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia memiliki perbedaan hukum dengan laut pedalaman Indonesia, laut kepulauan Indonesia dan laut teritotial Indonesia. ZEE-Indonesia harus dipahami sebagai suatu “daerah di luar dan berdampingan” dengan laut teritorial Indonesia11, adalah ”jalur diluar dan berbatasan” dengan laut teritorial Indonesia12 berarti ZEE bukan laut terotorial Indonesia, jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia13 berarti ZEE bukan laut wilayah Indonesia,  ZEE ”bukan kedaulatan negara14” karena kedaulatan negara di perairan Indonesia hanya di  laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman15dan  “wilayah diluar wilayah negara16” berarti ZEE bukan wilayah negara Indonesia.
              Oleh karena itu  ZEE-Indonesia  hanya sebagai ”wilayah yurisdiksi17” Indonesia. Indonesia memiliki hak-hak yang sifatnya lebih terbatas (tidak seluas kedaulatan ) yang lebih dikenal dengan hak eksklusif (exsclusive rights)18 untuk ”keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam19” pada kolom air (diatas dasar laut sampai permukaan laut)20 dan hak-hak lainnya di wilayah yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Hukum Internasional.
Hukum Internasional yang menyebabkan adanya ZEE dan yang mengatur ZEE  adalah United Nations Convention On The Law Of The Sea  ( UNCLOS)20 tahun 1982 dan konvensi internasional lainnya.  UNCLOS yang telah diratifikasi21 dengan Undang-Undang Nomor  17 tahun 1985 sebagai pernyataan ”persetujuan”, ”pernyataan mengikatkan diri”  dan ”mengikat para pihak” dengan UNCLOS22. Oleh karena itu, ”suka”  atau ”tidak suka” maka UNCLOS ”menjadi aturan hukum yang ”mengikat”  Indonesia. Undang-undang perikanan dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dilaksanakan berdasarkan  UNCLOS23. UNCLOS harus menjadi pedoman dalam penegakan hukum di laut24. ZEE-Indonesia sebuah wilayah hukum yang memiliki rezim hukum yang  berbeda jauh dengan rezim hukum laut teritorial maupun laut kepulauan Indonesia.
Oleh karena itu, Hatta Ali, Ketua MA telah memberi arahan agar semua warga peradilan memiliki pradigma berfikir yang baru karena:”… karena ke depan, tidak hanya peradilan dituntut untuk beroperasi  lebih efektif dan efisien, baik secara teknis yudisial-maupun manajemen, namun juga harus mampu berpikir antisipatif, melewati batas-batas konvensional dan memikirkan juga aspek regional dan internasional yang mungkin akan mempengaruhi dinamika sistem peradilan kita,  kesemuanya saya pikir sudah ada di depan mata kita semua dan menunggu untuk terjadi25”. Untuk itu ia mengharapkan warga peradilan tidak “status quo” tetapi memiliki pradigma “antisipatif” dan “adaftif”  untuk mewujutkan peradilan yang modern dan profesional.
Salahsatu tindak lanjutnya dalam bentuk program kerja Ikatanm Hakim Indonesia (IKAHI) dalam bentuk peningkatan  kualitas, profesionalisme dan integritas hakim. Alternatif peningkatan kualitas, profesionalisme dan integritas hakim dilakukan dilakukan IKAHI dengan pendidikan dan pelatihan hakim. Untuk itu, kedepan IKAHI akan melakukan pendidikan dan pelatihan bukan saja pada level Pusat (di Jakarta) tetapi juga di wilayah dan cabang-cabang IKAHI. Semua kepengurusan IKAHI harus bekerja sehingga mampu menfasilitasi dan menginspirasi peningkatan kualitas, profesionalistas dan integritas para anggotanya26.

Rezim hukum UNCLOS di ZEE
Zona Ekonomi Eksklusif diatur pada  Bab 5 mulai Pasal 55 sampai Pasal 75 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Hukum laut di ZEE memiliki  ”rezim hukum khusus”  yang mewajibkan hukum Indonesia di ZEE-Indonesia   ”harus tunduk”27, ”harus sesuai”28, ”harus relevan”29, ”tidak bertentangan”30  dengan UNCLOS. Artinya, karena UNCLOS telah diratifikasi, maka hukum nasional yang berkaitan dengan ZEE (locus) harus tunduk dengan UNCLOS, harus sesuai dengan UNCLOS, harus relevan dengan UNCLOS dan tidak bertentangan dengan UNCLOS.
UNCLOS mengharuskan tindakan menaiki kapal di ZEE-Indonesia,  memeriksa,  menangkap dan melakukan proses  peradilan harus ”sesuai” dengan UNCLOS31. Pidana perikanan yang dijatuhkan  di  Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh mencakup ”pengurungan”,  atau ”setiap bentuk pidana badan lainnya32” jika tidak ada perjanjian antar  negara.  Sampai saat ini tidak ada perjanjian pidana perikanan antara Indonesia dengan negara lain.
Pidana Penjara, Subsider kurungan dan Penahanan
            Kitab Undang-Undang Pidana(KUHP) mengenal pidana pokok berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan serta pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim33. Pidana denda seringkali diikuti dengan klausal jika denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan34. Demikian juga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memungkinkan seseorang dilakukan penahanan mulai dari penangkapan, penyidikan, penuntutan sampai pada pengadilan. Akumulasi waktu penangkapan oleh Hakim dikurangkan dari hukuman penjara yang diputuskan hakim35. Pertanyaan yang sensitif: Berlakukah sepenuhnya KUHP dan KUHAP sebagai pidana meteril dan pidana formil nasional di ZEE-Indonesia?
            Tanpa harus menjadi ”ultranasionalisme” dan bukan pula menjadi ”a-nasionalisme” bahwa perundang-udangan nasional telah menyatakan ZEE-Indonesia bukan laut teritorial Indonesia, bukan laut wilayah Indonesia, bukan wilayah kedaulatan negara, bukan wilayah negara; hanya wilayah yurisdiksi yang tunduk pada UNCLOS. UNCLOS sendiri telah diratifikasi sebagai sebagai Hukum Pidana Internasional36. Oleh karena itu, hukum nasional (KUHP, KUHAP, dll) di ZEE-Indonesia   ”harus tunduk”, ”harus sesuai”, ”harus relevan”, ”tidak bertentangan” dengan UNCLOS.
Pidana perikanan di ZEE menurut UNCLOS tidak boleh mencakup ”pengurungan” atau ”setiap bentuk pidana badan lainnya”. Undang-undang perikanan (lexs specialis) menerapkan tidak ada pidana penjara sebagaimana dinyatakan pada Pasal 102 Undang-Undang  Nomor 31 tahun 2004. Pidana perikanan lebih menekankan pada pidana denda. Hal ini terlihat bahwa terdakwa dapat dilepas dengan denda sebelum putusan pengadilan37  dan dimungkinkannya pengadilan in absensia38.
Kendati pidana perikanan merupakan Extra Ordinary Crime39, trans-nasionalis dan sistematik40, namun penanganannya harus tetap sesuai peraturan perundang-undangan. Dari uraian di atas, pidana perikanan di ZEE-Indonesia tidak dapat dilakukan: (1) pidana penjara, (2) pidana kurungan dan(3)  setiap bentuk pidana badan lainnya kepada pelaku illegal fising. Dengan tidak adanya pidana penjara maka tidak mungkin dilakukan penahanan mulai dari penangkapan, proses penyidikan, proses penuntutan dan selama persidangan (terpidana dapat melakukan upaya rehabilitasi dan gantirugi).  Demikian juga pidana ”kurungan” dan atau pidana pengganti denda  berupa ”kurungan”  tidak dapat dilakukan. Kalaupun berdalih  ”subsider kurungan”, bukankah pelaksanaannya   tetap ”pidana badan” --lebih ringan dari penjara—yang melanggar UNCLOS (setiap bentuk pidana badan lainnya). Tidak adanya pidana penjara, pidana kurungan dan bentuk pidana badan lainnya termasuk tidak ada subsider kurungan di ”amini” para hakim senior,  diplomat dan pakar kelautan semisal Djoko Sarwoko, SH., MH41;  Harsono, SH42, Rahmad Budiman43   dan  Elly Rasdiani44.
            Penutup
                        Penerapan hukum di  ZEE-Indonesia memiliki kekhususan. Tidak sama persis dengan hukum di laut territorial dan juga tidak sama persis dengan hukum di laut bebas/ internasional. Di ZEE-Indonesia berlaku perpaduan hukum antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan kekhususan hukum nasional berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur ZEE. Pada sisi lain, bahwa pidana perikanan di ZEE dilakukan secara bersifat sistematik, terorganisasi, pelakunya berkeliaran di ranah kekuasaan politik dan berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi45 dan transnasional serta multidimensional dalam arti berkorelasi dengan asfek system yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara. Illegal fishing berdampak multi dimensi selain mengambil sumberdaya ikan secara illegal juga merusak lingkungan hidup, merampas hak-hak sosial ekonomi rakyat, serta membahayakan negara, baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dikaji dari perspeftif yuridis,  tindak pidana illegal fishing merupakan kejahatan yang luas biasa (exstra ordinary crims) sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luarbiasa (exstra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (exstra ordinary measures). Untuk itu, alangkah eloknya bila Hakim Ad Hoc Perikanan juga ada pada pengadilan tingkat banding dan kasasi untuk menuntaskan permasalahan pelik ini.***


Catatan kaki
1Tulisan ini adalah lanjutan “Tindak Pidana Perikanan di ZEEI”, Varia Peradilan  Edisi  No.318 bulan Mei 2012.
2Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH, M.Si adalah Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ranai  dan alumni KSA XLII Lemhannas  tahun 1999.
3Kerajaan Bugis adalah kerajaan nusantara yang  memiliki hukum laut tetapi lebih fokus pada hukum pelayaran.
4Konvensi Hukum Laut Pertama Indonesia  tidak meratifikasi adalah  Territorial Sea and the Contiguous Zones”, dan “Continental Shelf”. 
5Ratifikasi Hukum Laut Pertama termasuk ratifikasi Hukum Laut Ketiga tahun 1982 mengharuskan tidak ada reserve, menerima sepenuhnya.
6Ordonansi 1939 menetapkan lebar laut territorial hanya selebar 3 (tiga) mill laut.
7Data-data ini hasil gabungan dari Dewan Kelautan Indonesia, 2009 dan Hasjim Djalal, 2013.
8Dewan Kelautan Indonesia telah menyadari lemahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum kelautan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kelautan. 9Lihat Pidato Ketua Mahkamah Agung-RI pada Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68, 19 Agustus 2013.
10Kemampuan pengetahuan hukum seorang hakim berupa penguasaan terhadap asas-asasa, kaidah-kaidah dan aturan-aturan baik tingkat lokal, nasional mupun internasional, lihat Arif Budiman (2013): Meretas Asa Menggapai  Mimpi. Majalah Komisi Yudisial, edisi Juli-Agustus 2013, hal.30-33.
 11Lihat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal  7 Undang-undang Nomor 43 tahun 2008 dan Pasal 55 UNCLOS.
12Lihat Pasal 1 angka (21) UU Nomor 45 tahun 2009 
13Lihat Pasal 2 UU No.5 tahun 1983 tentaang ZEE-indonesia.
14Pasal 4 UU Nomor 6 tahun 1996 tidak menyebut ZEE sebagai wilayah kedaulatan.
15Sampai saat ini Indonesia belum menetapkan Perairan Pedalamannya, sehingga tidak ada laut tertutup bagi kapal-kapal asing di perairan kepulauan Indonesia
16Lihat Pasal 1 ayat (3) UU No. 43 tahun 2008
17Lihat Pasal 1 ayat (3) UU No. 43 tahun 2008: adalah wilayah di luar wilayah negara yang terdiri atas:  zona ekonomi eksklusif,...,  Pasal  55 UNCLOS dan   tulisan “Jargon” pada Majalah Barracuda, Nomor 2 Vol.7 Agustus 2009, hal.60.
18Baca: I Wayan Parthiana (2005): Landas Kontinental Dalam Hukum Laut Internaasional. Bandung: Mandar Maju. hal.2
19Hak-hak negara pantai di  ZEE diatur pada Pasal 56 ayat (1) huruf (a) UNCLOS.
20UNCLOS memasukkan hak ekonomi eksklusif untuk dasar laut dan tanah di bawah dengan rezim hukum landas kontinental.
21Pengesahan hukum internasional dapat dilakukan dengan ratifikasi, adopsi dan Costumary International law (lihat Artidjo Alkostar,2013: Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung RI. Fungsi Protektif Hukum Pidana. Refreshing Coach Bagi Hakim Ad Hoc Perikanan. Jakarta 31 Maret - 5 April 2013 dan Syamsumar  Dam. 2010. Politik Kelautan. Jakarta: Bumi Aksara, hal.246.
22Konsekwensi ratifikasi lihat Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (2) UU No. 24 tahun 2000.
23Baca penjelasan UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
24Elly Rasdiani, Dewan Kelautan Undonesia (2013): Penegakan Hukum di Laut Rancu, UNCLOS Harus Tetap Jadi Pedoman. http://www.dekin.kkp.go.id/index.php?q=news&id=20111128142205011151295997180335341256487964/21/1/2014/pk.14.57
25Lihat  Pidato Ketua Mahkamah Agung-RI pada Hari Jadi Mahkamah Agung ke-68, 19 Agustus 2013
26Lihat Imam Soebechi (Ketua IKAHI Priode 2013-2016/Ketua Kamar TUN MA-RI): Peran IKAHI Dalam Mewujutkan Kemandirian Hakim, Warta Keadilan No.337 Desember 2013, hal.18-24.
27Hukum nasional ”harus tunduk” dengan UNCLOS dinyatakan pada Pasal  55 UNCLOS.
28Hukum Nasional  ”harus sesuai”  dengan  UNCLOS dinyatakan pada Pasal  56 ayat (2),     Pasal 58 ayat (3)  dan Pasal 73 ayat (1) UNCLOS.
29Hukum Nasional  ”harus relevan” dengan  UNCLOS dinyatakan pada Pasal  58 ayat (1) UNCLOS.
30Hukum Nasional ” tidak bertentangan” dengan  UNCLOS dinyatakan pada Pasal  58 ayat (3) UNCLOS.
31Lihat UNCLOS Pasal 73 ayat (1)
32Lihat UNCLOS Pasal 73 ayat (3)
33Lihat pasal 10 KUH-Pidana
34Lihat Pasal 30 ayat (2) KUH-Pidana
35Lihat Pasal 22 sampai 31 UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
36Hukum Pidana Ingternasional ialah Hukum Pidana  Indonesia yang bersumber dari dari Hukum Internasional berdasarkan ratitifikasi konvensi/perjanjian internasional, lihat Farid (2010): Hukum Pidana-1. Sinar Grafika, Jakarta, hal.22-26.
37Lihat Pasal 104 UU No.31 tahun 2004
38Lihat pasl 79 UU No.31 tahun 2004
39Lihat Aji Sularso, 2009: Illegal Fishing- IUU:  Kejahatan Extra Ordinary. Baracuda, No.2 Vol.V Desember 2008, hal.21
40Lihat Artidjo Alkostar, 2013
41Djoko Sarwoko, SH., MH.2009 dalam Pemidanaan Dalam Tindak Pidana Perikanan. Diklat Hakim Ad Hoc Perikanan Tahun 2009.
42Harsono, SH,.2009. dalam  Pelaksanaan Putusan Perkara Pidana Pada Tindak Pidana Perikanan, Diklat Hakim Ad Hoc Perikanan Tahun 2009.
43Rahmad Budiman,2009. dalam  Illegal Fishing dan Upaya Hukum Penanganan Tindak Pidana Perikanan di WPPRI Serta kebijakan Beberapa Negara, Diklat Hakim Ad Hoc Perikanan Tahun 2009.
44Elly Rasdiani (2013).
45Lihat Artidjo Alkostar, 2013

No comments:

Post a Comment