MASIH ADAKAH (SUKU BANGSA) MANDAILING

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul: “Masih adakah (suku bangsa) Mandailing”, telah dimuat pada Tabloit Sonondang Mandailing, di Medan, edisi Februari-Maret 2008, hal.12 kol.1-5 

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan

       Mengutip tulisan  H.Pandapotan Nasution,SH, Pemimpin Umum  Tabloit Sinondang Mandailing, edisi pertama Juni 2007 yang berjudul : Renungan Tentang Mandailing, pada salahsatu alineanya dituliskan: “Nilai luhur warga masyarakat Mandailing terdapat dalam budaya  dan adat Mandailing. Dengan budaya dan adat Mandailing inilah  masyarakat Mandailing  sebagai etnik diakui keberadaannya.  Jika budaya dan adat Mandailing hilang, maka hilang pulalah etnik Mandailing”.  Pada alinea lain, Pemimpin Umum menginginkan Mandailing sebagai national dignity (kebesaran bangsa) dan national identity (sifat khas bangsa). Mandailing sebagai entitas budaya masih ada, dapat dipahami namun jika  Mandailing sebagai etnik (suku bangsa) masih perlu tandatanya. Tulisan ini, sebagai bahan renungan bagi mereka-mereka yang masih cinta akan Mandailig.
Pengakuan Masyarakat Adat
Diakui memang, bahwa Indonesia didirikan di atas kumpulan etnik sebagai ke-binneka-an, untuk menyatu dalam ke-tunggal- ikaan dalam bentuk negara modern Indonesia. Namun pada kenyataannya baik ketika teks proklamasi dibacakan ataupun ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan, tidak ada penyebutan suku bangsa (baca masyarakat adat), dan hanya tercantum pada penjelasan  UUD 1945, pasal 18.
Perangkat hukum kembali “beradat” setelah dilakukan amandemen  UUD 1945 pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi :  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Pada pasal 28-I ayat (3) dipertegas lagi : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok –Pokok Agraria hanya memberi pernyataan “ dapat dikuasakan” dan “sekedar diperlukan” dalam pengelolaan tanah oleh masyarakat adat .  “Hak menguasai negara tersebut diatur  pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah  swatantra masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”(pasal 2 ayat 4)..    Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain yang        lebih tinggi. Beranjak dari kondisi ini hanya beberapa suku bangsa (etnik) -- misalnya Minangkabau-- yang diakui  swatantra masyarakat hukum adat dalam bidang pertanahan.

              Turunannya adalah Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan  memberi pengakuan atas keberadaan hutan adat.   Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya  masih ada dan diakui keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3).  Hutan dapat ditetapkan sebagai hutan  adat oleh pemerintah  sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
            UU No.27 th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil lebih tegas mengakui hak masyarakat adat atas pesisir dan pulau-puau kecil. “Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun – temurun”. “Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.
            Banyak perundangan nasional yang mengakui keberadaan masyarakat adat seperti pada UU No.29 tahun 1999  Hak Asasi Manusia, Ratifikasi  Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan lain-lain. Lembaga PBB telah lebih awal mengakui eksistensi masyarakat adat.  Konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat dan Penduduk  Pribumi Asli Negara Merdeka,  konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak –Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1996), Deklarasi dan Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tanggal 25 Juni 1993  dan lainnya.
Hak-hak masyarakat tradisionil, dalam  program aksi Wina dijelaskan :      Negara harus menjamin adanya partisipasi masyarakat asli yang bebas dan seutuhnya dalam seluruh asfek masyarakat, terutama yang menyangkut hal-hal yang menjadi kepedulian mereka.  Dengan mempertimbangkan pentingnya pemajuan dan perlindungan hak dari penduduk asli, serta konstribusi pemajuan dan perlindungan tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara dimana masyarakat semacam itu berada, negara-negara harus sesuai dengan hukum internasional, mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya penghormatan terhadap  semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi dari penduduk asli, berdasarkan persamaan hak dan non diskriminasi, serta mengakui nilai dan keanekaragaman dari identitas, kebudayaan dan organisasi sosial  mereka yang berbeda”.
            Demikian juga terlihat pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada pasal 27 dijelaskan : “Di negara-negara dimana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok minoroitas tersebut tidak dapat diingkari  haknya, dalam komunitas bersama anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Ketika masyarakat adat diakui keberadaannya (de jure) oleh negara,  negara akan memberikan sebagian kewenangannya kepada masyarakat adat.  Kewenangan masyarakat adat diantaranya adalah:
1.   Hak atas kepemilikan tanah
Hak penguasaan atas tanah oleh masyarakat adat dapat dikuasakan kepada daerah-daerah  masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah”. Pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan – peraturan lain yang        lebih tinggi.
2.   Hak Atas Kepemilikan Hutan
      Hak-hak masyarakat adat atas hutan diantaranya adalah:
a.melakukan pemungutan  hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b.melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat  yang berlaku dan  tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c.mendapat pemberdayaan dalam rangka meningkatkan  kesejahteraannya.
3.  Hak Atas Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
a.Peranserta Dalam Perencanaan
Perencanaan pengelolaan atas: (a) rencana strategis  , (b) rencana zonasi, (c) rencana pengelolaan dan            (d) rencana aksi WP3K.  Pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengelolaan  dengan melibatkan masyarakat  berdasarkan norma,  standart dan pedoman dilakukan melalui konsultasi publik dan/ atau musyawarah adat baik formal maupun nonformal.  
b. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Hak pengusahaan perairan pesisir adalah hak pengusahaan air laut, kolom air laut sampai permukaan dasar laut dengan menstratakan  masyarakat adat dengan badan usaha.  Dalam pemberian HP-3 salahsatunya wajib memperhatikan kepentingan masyarakat adat dan salah satu  kewajiban operasional pemegang hak HP-3 adalah: “mengakui, menghormati, dan melindungi  hak-hak masyarakat adat  dan atau masyarakat lokal,   memperhatikan hak masyarakat adat  untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai “.
c. Hak  Pengawasan dan Pengendalian
    Masyarakat adat memiliki hak pengawasan dan pengendalian dan pulau-pulau kecil melalui (pasal 36):
(a)               perencanaan pengelolaan dengan berdasarkan adat budaya dan praktik- praktik yang lazim  atau yang telah ada di dalam masyarakat,
(b)               pelaksanaan pengelolaan  dengan memunculkan kreativitas dan  kemandirian  dalam hal jumlah dan variasi  pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil  sehingga dapat meningkatkan aktvitas  ekonomi di tempat-tempat sebelumnya belum dapat dimamfaatkan, sehingga wilayah kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat diperluas,
(c)                penyelesaian konflik mengenai aturan - aturan baru yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena kebutuhan sendiri ataupun aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah.
d. Pengakuan Penyelesaian Sengketa Adat
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui pengadilan dan /atau di luar pengadilan (pasal 64). Penyelesaian sengketa diupayakan untuk diselesaikan di luar pengadilan, dilakukan  para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau melalui adat istiadat/kebiasaan/ kearifan lokal.   Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah terjadinya atau terulangnya dampak besar akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
e. Perlindungan Kawasan Lindung Adat
Konservasi  Wp3K untuk menjaga kelestarian ekosistem, melindungi alur  migrasi ikan dan biota laut, melindungi habitat biota laut dan melindungi situs budaya tradisional seperti tempat tenggelam kapal khusus, situs sejarah kemaritiman, tempat ritual keagamaan atau adat.  Kawasan konservasi yang m emiliki ciri khas seperti wilayah yang diatur oleh adat tertentu misalnya sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan atau istilah lain adat tertentu (pasal 28).

 Etnik Mandiling Masih Adakah?
Beranjak dari kondisi ini,  beberapa pertanyaaan dapat diajukan.  Adakah etnik (masyarakat adat) Mandailing memiliki legalitas atas tanahnya sebagai daerah swatantara? Adakah etnik Mandailing memiliki kewenangan dalam pengelolaaan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil? Apakah etnik Mandailing telah memiliki legalitas (de jure) sebagai masyarakat adat? Atau masih memenuhi persyaratankah etnik Mandailing  untuk disahkan sebagai masyarakat adat? Bila jawaannya tidak, berarti secara de jure Mandailing sebagai etnik suku bangsa tidak  ada lagi dan atau minimal tidak diakui negara.
Kegelisahan inilah pernah penulis sampaikan dalam bentuk pertanyaan  kepada H.Bachta Nizar Lubis, SH Ketua Umum DPD Himpunan Keluarga Mandailing Sumatera Utara (organisasi Mandailing berskala nasional yang terdaftar di Departemen Dalam Negeri).  Pertanyaannya adalah : Apakah HIKMA ini adalah organisasi etnis atau organisasi kekeluargaan? Jika organisasi etnis maka perjuangannya jelas untuk kebangkitan etnis dan tidak mungkin pengurusnya bukan etnis Mandailing. Jawabannya adalah HIKMA adalah organisasi kedaerahan dan kekeluargaan yang berarti bisa saja anggota dan pengurusnya tidak etnis Mandailing. Dan kalau begitu, penulis tidak dapat berharap banyak kepada organisasi kedaerahan untuk memfasilitasi etnis Mandailing diakui secara sah sebagai masyarakat adat di Indoneia. Oleh karena itu diperlukan lembaga seperti Institut Mandaikologi, untuk memfasilitasi kajian, persiapan persyaratan dan pengusulan agar masyarakat adat Mandailing diakui secara sah sebagai etnis yang punya kewenangan di negara Indonesia ini. Setuju kan?

  *Tulisan ini diedit dari makalah penulis tgl.08 Nopember 2007 di Hotel Antares,   Medan


No comments:

Post a Comment