MANDAILING MASA DEPAN: BERADAT, BERBUDAYA, BERMARTABAT

Tulisan  Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul: “Mandailing Masa Depan, Beradar, Berbudaya dan Bermartabat” telah dimuat pada  Tabloit Sonondang Mandailing, di Medan, edisi Mei-Juni 2008, hal.3 kol.1-5 

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan

            Tabloit Sinondang edidi Maret-April 2008, menyajikan topik pelestarian adat Mandailing. H.Pandapotan Nasution,SH menulis dengan judul: Adat Dalam Tantangan Zaman, yang menggambarkan besarnya intrusi terhadap adat dan budaya serta terjadinya “erosi” adat dan budaya Mandailing. Erosi adat  ini dipertegas Ompung Ryan Lubis dengan memberi contoh dengan memudar dan hilangnya prangkat pemerintahan adat Namora-Natoras dalam kerajaan-kerajaan Mandailing.
Kegelisahan akan masa depan adat dan budya Mandailing telah diantisipasi dengan gerakan-gerakan ke-Mandailing-an  baik secara pribadi maupun lembaga. Ada organisasi massa Mandailing: Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA)  dengan lambang segilima dan ada pula Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA) berlambang segitiga (dalihan na tolu ?) dengan pimpinan pusat di Jakarta, demikian pula Badan Musyawarah Pemangku Adat Mandailing (BM-PAM) yang didirikan di Medan tanggal 18 April 2001, dan organisasi massa lain yang berorientasi kedaerahan dan ke-Mandailing-an. Ada lembaga seperti Yayasan  Pencerahan Mandailing yang menerbitkan Tabloit Sinondang, ada individu seperti  H.Bachta Nizar Lubis,SH, H.Pandapotan Nasution,SH dan lainnya yang sangat konsen terhadap Mandailing.
Gerakan-gerakan kultural ini, nampaknya mulai mengevolusi ke ranah pendanaan  untuk pelestarian adat dan budaya. Hal ini dapat terlihat dari Tajuk Sinondang  dan tulisan Ompu Ryan Lubis yang berjudul: Dana Buat Pelestarian Adat Mandailing yang menggulirkan Gerakan Seribu Mandailing (GSM) yang intinya agar orang-orang Mandailing dapat menyumbang Rp.1.000,- tiap bulan untuk pelestarian adat dan budaya Mandailing.
 Gerakan GSM  ini  diadopsi dari Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang)  yang diketuai Ir.Azwar Anas, tetapi etnis Minangkabau telah melakukan lompatan bukan  lagi sekedar ide untuk pendanaan dalam tataran mempertahankan adat dan budaya tetapi sudah pada tataran peningkatan ekonomi rakyat. Dengan Gebu Minang telah mampu menghimpun dana untuk membentuk  ratusan  bank pengkreditan rakyat (BPR) dan lumbung pitih nagari (LPN).  Apakah gerakan GSM ini akan disahuti?  Seperti ditulis  Sri Mulyani Nasution (Tentang Berterima Kasih, Sinondang edisi Maret-April 2008) keberhasilan GSM ini tergantung akan  nilai kesukarelaan membantu (altruisme)  dan atau nilai  individualisme ( marsipaiaskon api di gurung-gurung na be)   pada masyarakat Mandailing.
            Kendati kita optimis (baca: misalkan) akan pendanaan serta pelestarian adat dan budaya Mandailing, apakah hanya dengan adat dan budaya Mandailing ini sudah cukup kita wariskan kepada anak-cucu  generasi Mandailing masa depan? Penulis telah mencoba “memancing” pembaca tentang bagaimana Mandailing masa depan yang diharapkan dalam tulisan : Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (edisi Februari-Maret 2008).
Menurut penulis, pelestarian adat dan budaya tidak cukup untuk mengantisipasi hilangnya Mandailing dalam percaturan budaya dan politik global. Antitesa yang sering tidak kita sadari yang berakibat  pada keterlambatan  penyusunan strategi dan ketiadaan tindakan bahwa:  orang menganggap sudah tidak saatnya lagi membicarakan adat, budaya,  masyarakat adat dan semua yang berbau ke-etnis-an. Orang-orang yang masih membicarakan  etnis dianggap tidak nasionalis, tidak menggelobal karena katanya sekarang ini, jangankan adat dan budaya lokal ; batas budaya nasionalpun tidak jelas lagi. Oleh karena itu, ketika ada pesta perkawinan kendati pada awalnya di-adati dengan adat Mandailing tetapi dalam perjalanannya pengantin dan keluarga dengan bangga memakai berbagai pakaian etnis lain. Atau juga orang Mandailing tidak lagi mengajari anak-anaknya berbahasa Mandailing dan lebih mementingkan bahasa Inggris dan Mandarin. Mungkin juga bahkan malu mengaku orang Mandailing  dan mengaku menjadi etnis Batak, misalnya.
Padahal antitesa dari menggelobalnya dunia, adalah menguatnya etnisitas kelompok di seluruh penjuru dunia untuk mempertahankan diri  agar survive dalam pertarungan budaya  global.  Awal tahun 2008 ini, pemerintah Australia terpaksa -- konsekwensi janji kampanye--mengakui hak-hak masyarakat adat (tradisonil)  suku Aborigin  termasuk hak-hak penguasaan atas tanah dan laut teritotial masyarakat adat, demikian juga proklamasi kemerdekaan suku Albania di Eropa, dan geliat  etnis Tibet menuntut kemerdekaan  dari pemerintahan RRC.
Banyak konvensi-konvensi internasional yang memberi pengakuan dan penguatan atas masyarata adat dalam suatu negara. Misalnya konvensi ILO Nomor 109 tahun 1984 tentang Masyarakat Adat dan Penduduk  Pribumi Asli Negara Merdeka,  konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Ratifikasi UU No.5/1994), Perjanjian tentang Hak –Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1996), Deklarasi dan Program Aksi Wina yang telah disetujui Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tanggal 25 Juni 1993, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan lain-lain.
Dalam sekala nasional, Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen telah dengan jelas dan terang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat. Misalnya pada pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi :  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI”. Demkian juga  pasal 28-I ayat (3) dipertegas lagi : “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Sebagai sebuah undang-undang dasar yang menjadi peraturan tertinggi, maka apa yang termaktup dalam undang-undang dasar  harus menjadi acuan dalam membuat undang-undang dan peraturan hukum yang lebih rendah di bawahnya.  Ketika hak-hak tradisionil masyarakat adat diakui Undang-undang Dasar 1945 maka semua undang-undang dan peraturan di bawahnya akan mempertegas  hak-hak tradisionil masyarakat adat.
Misalnya Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan  menjelaskan:“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya  masih ada dan diakui keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3).  UU No.27 th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil . “Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”.
Dampak lain dari otonomi daerah-- suka atau tidak suka-- adalah menguatnya isme kedaerahan dan ke-etnis-an. Otonomi daerah yang terjadi sudah mirip dengan negara bagian seperti pada Nangro Aceh Darussalam dan Papua. Pemerintah Pusat dan pemerintahan Propinsi hampir tidak punya  kekuasaan untuk “mengatur” pemerintahan kabupaten dan kota. Adalah mustahil saat ini orang Mandailing akan terpilih jadi Bupati misalnya di Bireun (Aceh), di Humbang Hasudutan (Batak Toba), di Tanah Karo ( Karo), Tanah Datar (Minangkabau) dan daerah lainnya. Ini sebuah kenyataan.
Menguatnya ke etnis-an, dapat pula kita lihat dengan lahir dan berkembangnya milisi-milisi ke-suku-an seperti  laskar Panglima Lot (Aceh), Laskar Hang Jebat (Melayu), Laskar Joko Tingkir (Jawa), Laskas Muda Minang Bersatu (Minangkabau) dan laskar Mandailing (?). Dalam pengamatan penulis  jangankan aksi, geliat ke-etnis-an  sendiri baik di Medan maupun di Mandailing  belum ada. Bukankah pengembangan ke-etnis-an adalah bagian dari ke-binnekaaan (kemajukan)  menuju ke-tunggal ika-an (kesatuan). Kita semestinya dapat mengambil  pengalaman etnis Kerinci --dendeng batokok-- yang lebih kecil dari etnis Mandailing di enclape danau Kerinci, Jambi ternyata siap dan mampu menjadi sebuah negara Republik Kerinci dan menjadi  salahsatu negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS), terlepas kita setuju atau tidak dengan tindakan politis tersebut.
Etnis Mandailing memang beradat dan berbudaya. Ia memiliki  bahasa sendiri dan tulisan (aksara) sendiri serta nama Mandailing dan Natal (etnis pesisir) dijadikan menjadi nama kabupaten, Kabupaten Mandailing Natal. Undang-undang No.12 Tahun 1998 tanggal 23 Nopember 1998 tentang pendirian Kabupaten Mandailing Natal  bukan otomatis mengakui keberadaan masyarakat adat Mandailing apalagi  pengakuan daerah/teritorial masyarakat adat Mandailing. Teritorial Kabupaten Mandailing Natal  selain memasukkan  daerah yang dihuni etnis Mandailing tetapi juga memasukkan daerah yang dihuni etnis Pesisir (Natal). Pada daerah yang dihuni etnis Mandailing-pun, kewenangan-kewenangan masyarakat adat (baca: Masih  Adakah (suku bangsa) Mandailing, edisi Februari-Maret 2008) tidak ada. Ini sebuah kenyataan.
Ketika pra-kemerdekaan 17 Agustus 1945  masyarakat adat Mandailing memiliki kekuasaan, roh Undang-undang Dasar 1945 menghapuskan masyarakat adat dan amandemen Undang-undang Dasar 1945 kembali  mengakui masyarakat adat. Pertanyaannya apakah kita sepakat mengambil kekuasaan masyarakat adat Mandailing yang hilang?  Bila jawabannya ya, mari kita sama-sama wujutkan masyarakat adat Mandailing yang beradat, berbudaya dan bermartabat (berkekuasaan).***

*Ir.Hamzah Lubis,SH,MSi adalah pemerhati  masyarakat adat, mendalami pesisir & pulau-pulau kecil. E-mail: hamzah_blah@yahoo.com;  hamzah.information@gmail.com

No comments:

Post a Comment