MANDAILING BERKEKUASAAN

Tulisan Dr.Ir.Hamzah Lubis,SH.,M.Si berjudul: “Mandailing Berkekuasaan” telah dimuat pada Tabloit Sonondang Mandailing, di Medan, edisi Oktober 2008, hal.3 kol.1-5 

                                            Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan

Tabloit Sinondang Mandailing edisi Mei-Juni 2008, adalah edisi Pemerintahan Redakturpun menyajikan tokoh-tokoh Mandailing yang pernah memerintah seperti Mr.S.M.Amin sebagai gubernur pertama Sumatera Utara, demikian juga S.S.Paruhuman yang menjadi Gubernur Muda dan tokoh-tokoh lainnya. Edisi Pemerintahan (kekuasaan, penulis) semakin klop dengan headline judul yang menghabiskan 90% halaman serta memakai  “tanda perintah” yang berjudul : Bangkitlah Etnis Mandailing!
 Ada yang salah dengan judul ini, tidak. Dari membaca judul saja, paling tidak ada dua kesimpulan: (1) bahwa etnis Mandailing selama ini terkebelakang/tertidur dan (2) sudah saatnya etnis Mandailing  bangkit dan ini bukan hanya sebatas himbauan tapi sudah keharusan. Tentu; bila merujuk ke-edisi Pemerintahan, secara inplisit makna dari “Bangkitlah Etnis Mandailing!”, artinya sudah saatnya Mandailing kembali “berkekuasaan”.
            Apakah selama ini etnis Mandailing tidak berkekuasaan? Secara individu,ya. Banyak individu etnis Mandailing yang menjadi Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, Panglima bahkan Wakil Presiden, dan lembaga kekuasaan lainnya. Secara Masyarakat Hukum Adat, etnis Mandailing tidak-- lagi-- berkekuasaan. Tentang legalitas formal kekuasaan ini, penulis pertanyakan dalam tulisan yang berjudul: Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (edisi Februari-Maret 2008).
            Ja Padomuan seorang Pembaca Menulis (edisi Mei-Juni 2008) menjawab bahwa secara de facto  etnis Mandailing ada, tapi secara de jure jawabannya ”abu-abu”. Persoalan dilemparkan kembali kepada penulis agar menjelaskan syarat-syarat (kalau ada) sampai memprakarsai pembentukan lembaga pengusulan, dan kalau tidak mau melaksanakannya ”diancaman” NATO.
            Sepemahaman penulis, dalam budaya Mandailing tidak dikenal budaya ancam (kekerasan pskhis) apalagi dalam budaya wacana dalam tulisan ilmiah. Silakan berseberangan, karena ini keragaman. Apalagi tutur kata etnis  Mandailing dikenal dengan lemah-lembut. Dalam sistem sosial etnis Mandailing, setiap orang punya peran masing-masing. Ada  yang tukang ngomong (parhobar), tentu orang lain pula yang menjadi  pekerjanya, tentu adapula  bagian pendanaan, bagian pengawasan dan berbagai peran lainnya. Paling tidak, sebagai parhobar, penulis melalui media ini telah menyampaikan sesuatu  yang tidak pengenakkan, karena bukan puji-pujian  atas kebesaran dan kejayaan etnis Mandailing masa lalu.
            Kekuasaan Yang Hilang
Diakui memang, bahwa Indonesia didirikan di atas kumpulan etnik sebagai ke-binneka-an, untuk menyatu dalam ke-tunggal- ikaan dalam bentuk negara modern Indonesia. Namun pada kenyataannya baik ketika teks proklamasi dibacakan ataupun ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan, tidak ada penyebutan suku bangsa (masyarakat hukum adat), dan hanya tercantum pada penjelasan  UUD 1945, pasal 18. Grand strategi dilakukan untuk meniadakan-- langsung atau tidak langsung-- akar budaya dan kekuasaan masyarakat adat dengan memblow up kata ”persatuan  Indonesia” dan menistakan kata ”kebinnekaan” dan bahkan kata ”persatuan” diplintir menjadi ”seragam” yang salahsatu turunannya adalah Undang-Undang Pemerintahan Desa yang seragam di seluruh Indonesia.
            Hak-hak masyarakat adat dalam bidang  pertanahan, hak-ahak atas hutan dan segala hasilnya, hak-hak atas tanah perburuan dan peternakan, hak-hak atas perairan , hak atas air dan sumberdaya alam, hak atas pesisir dan pulau-pulau kecil dengan hasil-hasilnya tidak diakui lagi dan bahkan diprivatisasi dengan terbitnya undang-undang yang mengatur bidang-bidang tersebut. UUNo.5 tahun 1960 hanya menyebutkan “ dapat dikuasakan” dan “sekedar diperlukan” kepada masyarakat hukum  adat. Proses ”penbonsaian” dengan berbagai strategi dan berlangsung lama, sehingga masyarakat hukum adat di Indonesia sekarat.
Kilas balik kebijakan Masyarakat Hukum  Adat berlangsung ketika amandemen UUD 1945 dilakukan dengan memasukkan kalimat yang berbunyi :  “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI” (pasal 18 B ayat (2)) dan dipertegas lagi pada  pasal 28-I ayat (3) yang berbunyi: “Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
            Mengembalikan Hak-Hak Masyarakat Adat
Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen) sebagai dasar hukum--termasuk didalamnya pengakuan masyarakat hukum adat-- telah melahirkan undang-undang sebagai turunannya seperti UU No.27 tahun 2007 yang dengan jelas dan terang manyatakan bahwa: ” Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat...” dan bukan hanya masyarakat adat tetapi juga  ”Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal” (pasal 1).
            Kendati undang-undang dasar mengamanahkan pengakuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya, serta  hak-hak masyarakat trasional dan identitas budayanya namun ini terbatas hanya ”sepanjang kenyataannya  masih ada dan diakui keberadaannya , serta tidak bertentangan dengan  kepentingan nasional” (pasal 4 ayat 3 UU. No.41/1999). Untuk memenuhi keriteria: (1) sepanjang kenyataannya masih ada, (2) diakui keberadaannya oleh masyarakat dan (3) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional , serta  untuk menjaga ketertiban umum maka  pemerintah perlu melakukan verifikasi dan legalisasi.
”Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya , jika menurut kenyataannya  memenuhi unsur antara lain :
1.Masyarakatnya masih dalam bentuk penguyuban (rechtsgemeenschap);
2.Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3.Ada wilayah hukum adat yang jelas;
4.Ada pranata dan perangkat hukum , khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
5.Masih mengadakan pemungutan hasil hutan  di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan  kebutuhan hidup sehari-hari”.
“Pengukuhan keberadaan dan hapusnya  masyarakat hukum adat  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan  hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat  yang ada didaerah bersangkutan , serta instansi atau pihak lain yang terkait”. Hasil penelitian para pakar hukum adat ini harus memenuhi keriteria penelitian hukum adat yang meliputi :
1.Tatacara penelitian
2.Pihak-pihak yang diikutsertakan
3.Materi penelitian, dan
4.Keriteria penelitian keberadaan masyarakat hukum adat.
            Dari undang-undang ini terlihat bahwa untuk legalisasi masyarakat hukum adat termasuk Masyarakat Hukum Adat Mandailing, dengan Peraturan Daerah (Perda) setelah mempertimbangkan: (1) hasil penelitian para pakar hukum adat, (2) aspirasi masyarakat setempat, (3) dan tokoh masyarakat adat  yang ada didaerah bersangkutan , serta (4) instansi atau pihak lain yang terkait.
            Langkah Selanjutnya?
Ketika etnis Mandailing kerkeinginan untuk  ”membangkitkan batang tarandam”, mendudukkan kembali Masyarakat Hukum Adat  dan kekuasaannya, maka langkah yang harus dilakukan adalah untuk memenuhi prosedur dan persyaratan pengakuan Masyarakat Hukum Adat sesuai perundang-undangan.
            Perlu sosialisasi untuk menghasilkan pemahaman dan keinginan yang sama kepada  tokoh masyarakat adat baik di rura Mandailing maupun di tano parantoan, sosialisasi kepada masyarakat setempat dan dialog-dialog intensif kepada  intansi terkait termasuk kepada anggaota DPRD.
Pada sisi lain, pada waktu yang sama harus pula dibenahi  dan disepakati kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Mandailing dan bentuk perangkat penguasa adatnya; penataan wilayah hukum adat yang jelas sehingga tidak menimbulkan konflik dengan Masyarakat Hukum Adat lainnya seperti etnis Angkola, Minangkabau dan Toba dan Pesisir; penataan dan kesepakatan pranata dan perangkat hukum termasuk  peradilan adat, dan peradilan-peradilan adat yang masih dilakukan, dan pungutan-pungutan adat yang masih berjalan di tengah-tengah masyarakat. Ketika hal-hal tersebut sudah ditata kembali, maka hasil penelitianpun diharapkan akan merekomendasikan kelayakan hak-hak Masyarakat Hukum Adat Mandailing.
Pekerjaan tersebut bukan kerja kecil tapi horja godang, memerlukan kerjasama semua pamangku kepentingan dan waktu yang panjang. Karena ini sebuah kerja besar yang hasilnya akan kita wariskan kepada anak cucu kita; penulis menyarankan  para elit-elit politik dan pemangku kepentingan etnis Mandailing baik di rura Mandailing maupun di tano parantoan untuk duduk bersama dengan target menghasilkan lembaga seperti ”Institut Mandailikologi” untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan kajian-kajian  pra pengusulan Perda Masyarakat Adat Mandailing. Saat inilah, seperti pertanyaan Ja Padomuon, kita baca Bacakan Bismillah untuk horja godang ini.
Setelah lembaga ini memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan kajian-kajian, bahan-bahan hasil  kajian ini kemudian disosialisasikan oleh semua pihak yang berkepentingan (organisasi daerah, lembaga swadaya, individu) kepada semua etnis Mandailing baik di kampung maupun di rantau. Ketika gaungnya sudah menggema dan hasilnyapun sudah dapat diprediksi ada kesepahaan dan keinginan, barulah dibentuk panitia pengusulan yang melibatkan semua pemangku kepentingan dan pemerintah kabupaten.
Sebelum usulan dilakukan, permasalahan yang lebih urgen adalah apa dan bagaimana yang akan terjadi ketika Masyarakat Hukum Adat Mandailing dan hak-hak tradisionalnya diakuinoleh negara? Ketika ”Raja” menjadi ”Raja di Raja” pada singgasana kekuasaannya, apakah akan meningkatkan kebersamaan dan kesejahteraan etnis Mandailing atau hanya akan mengangkat satu klan dan menginjak klan lain(prinsip belah bambu), memperkaya klannya, menimbulkan konflik sosial baru , apakah klas ”hatoban” akan tetap jadi Hatoban, dan seabrek pertanyaan lainnya yang perlu jawaban.
Penulis tidak akan menggiring opini untuk  mengatakan setuju atau tidak setuju. Sebagai etnis Mandailing bermarga Lubis dari Singengu yang tinggal di rantau, ada keinginan dan harapan agar etnis besar Mandailing ini terus ada dan dapat dinikmati anak-cucu ke depan. Inilah substansi tulisan penulis berjudul: Masih Adakah (Suku Bangsa) Mandailing (Edisi Februari-Maret 2008), Mandailing Masa Depan: Beradat, Berbudaya dan Bermartabat (Edisi Mei-Juni 2008) dan Mandailing Berkekuasaan yang sedang dibaca ini. Wacana ini kendatipun (misalnya) tidak direspon,  paling tidak sudah penulis sampaikan kepada kaumku etnis Mandailing. Iya kan......

*Tulisan ini disarikan dari ceramah penulis tgl.07 Mei 2008 pada masyarakat pantai dan
   masyarakat adat Melayu di Aula Kantor Camat Secanggang, Langkat.
**Penulis pemerhati lingkungan pulau-pulau kecil, E-mail: hamzah_blh@yahoo.com ; hamzah.information@gmail.com.



No comments:

Post a Comment