KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT PESISIR SUMATERA UTARA

Makalah Dr.Ir.Hamzah Lubis, SH.,M.Si berjudul: “Kearifan Tradisional Masyarakat Pesisir Sumatera Utara” pda Seminar Nasional Budaya dan Lingkungan,di Parapat, 20 Juli 2008 yang dilaksanakan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara bekerjasama dengan Program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara

Hamzah Lubis, Bsc.,Ir.,SH.,M.Si,Dr
*Dewan Daerah Perubahan Iklim Provsu *Mitra Baharai Provsu *Komisi Amdal Provsu
*Komisi Amdal  Medan *Pusat Kajian  Energi Terbarukan-ITM *Jejaring HAM KOMNAS HAM-RI
*KSA XLII/1999 LEMHANNAS *aktifis hukum/ham/lingkungan/pendidikan


Pendahuluan
          Masyarakat pesisir di kepulauan nusantara sejak awal mula telah mengembangkan pola- pola adaptasi terhadap lingkungan pesisir. Secara lambat tetapi pasti, kebudayaan – kebudayaan tersebut mengalami perkembangan, baik karena kepekaan penduduk memahami umpan balik dengan perekayasaan setempat ataupun karena rangsangan pengaruh kebudayaan asing. Kearifan tradisional masyarakat adalah hasil rekayasa masyarakat untuk dapat hidup survival ketika berbagai halangan dan rintangan menimpa kehidupan masyarakat.  Karena tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir pada berbagai tempat tidak seragam, menyebabkan perkembangan kebudayaan  lokal masyarakat pesisir menghasilkan kebhinekaan disamping persamaan.
   Kesenjangan kontak-kontak budaya yang dialami masing-masing masyarakat pesisir, menyebabkan  variasi  kebudayaan pada berbagai masyarakat pesisir telah menambah keanekaragaman kebudayaan. Pengaruh kontak-kontak kebudayaan di masa lampau bukan hanya memperkenalkan unsur-unsur kebudayaan asing terbawa serta dalam pergaulan lintas budaya, melainkan juga telah merangsang penduduk setempat mempercepat  dan memperkaya perkembangan kebudayaan mereka.
Perbedaan pengalaman sejarah yang mereka alami untuk menghasilkan anekaragam kebudayaan yang seolah-olah masing – masing  berdiri sendiri dan berasal dari titik-titik awal yang satu sama lain berada. Namun apabila dicermati asal usul perkembangan kebudayaan itu memiliki akar kesamaan, disamping variabel lokal maupun kesenjangan laju perkembangan; unsur kesamaan yang amat menonjol atau mendasar ialah pola-pola adaptasi yang dikembangkan penduduk dalam menghadapi tantangan hidup di wilayah pesisir. Penduduk setempat sudah sejak semula harus beradaptasi dengan lingkungan laut yang membentang luas. Mengingat kenyataan tersebut berkembanglah sejumlah nilai budaya mendasar dan dominan, seperti kemandirian, ketabahan, keterbukaan, dan demokrasi yang menyertai mobilitas penduduk maupun mobilitas sosial yang  tinggi.
            Nilai budaya ini yang masih hidup dan bertahan sering disebut sebagai kearifan tradisional. Kearifan tradisional adalah pengetahuan, teknologi dan tradisi yang secara turun temurun dimiliki  dan dipergunakan  oleh masyarakat nelayan setempat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam.

A. kearifan  Pantai Timur Sumatera Utara
1. Desa Jaring Halus
         Desa  Jaring Halus berada di Kecamatan Secanggang, Kabupaten langkat berada di pesisir pantai timur Sumatera  Utara. Beberapa kearifan tradisional masyarakat Jaring halus adalah :
a.  Penanaman Limau
            Tradisi penanaman limau ini dikerjakan oleh pawang laut sendiri tanpa melibatkan siapa- siapa baik nelayan sendiri maupun pihak lain . Dilakukan pada malam hari (rahasia ) dan ditanam sekitar  5-10 meter dari pinggir pantai yang dilaksanakan sebelum musim Timur masuk. Penanaman limau ini merupakan inisiatif dari pawang laut (dukun ) yang melihat kejadian atau peristiwa yang membahayakan desa seperti munculnya suatu penyakit menular maupun susahnya nelayan mendapatkan ikan maupun keanehan yang ditemui nelayan ketika menangkap ikan. Keadaan- keadaan demikianlah yang ditafsirkan oleh pawang laut tersebut sebagai bala berasal dari suatu kekuatan supranatural.
b.Tolak bala
Tolak bala ini dilakukan sesuai dengan kondisi atau peristiwa aneh yang dialami masyarakat. Apabila setelah 3-7 hari pananaman limau dilaksanakan belum mempunyai tanda – tanda sesuai denga tujuan pelaksanaannya, maka dilaksanakan tolak bala .Pelaksanaan dan proses upacara  tolak bala  dilaksanakan setiap tahun dimana penetapan waktunya ditentukan oleh pawang laut. Pada saat upacara tolak bala berlangsung  masyarakat akan mengelilingi sebuah tempat air yang diletakkan di pantai dan kemudian masyarakat melakukan zikir beramai –ramai dan melantunkan doa – doa selamat kemudian air tersebut dibagikan semua penduduk untuk dibawa pulang kerumah masing-masing.
Kegiatan Tolak bala berlangsung 3 hari lamanya, semua masyarakat membawa perbekalan masing – masing (seperti makanan, minuman dll) dan setelah selesai upacara dilakukan makan bersama seluruh masyarakat desa.

c.  Tepung Tawar sampan, jaring dan keramba
Tradisi tepung tawar sampan, jaring dan keramba dilaksanakan ketika si pemilik sampan, jaring atau keramba merasa bahwa sampan, jaring, maupun keramba miliknya terkena penyakit laut yang ditandai dengan  hasil yang tidak memuaskan atau ada saja kerusakan dan kendala- kendala yang ditimbulkan oleh sampan, jaring atau keramba. Untuk mengobati sampan, jaring atau keramba yang dianggap terkena ‘penyakit’ dipanggil pawang laut untuk mengobati dengan memberikan ‘tangkal’yang diselipkan di tempat – tempatkan tertentu dari sampan atau keramba dan dibarengi dengan pembacaan mantera-mantera dan diakhiri dengan memandikan air bunga  (dilimoi).

d.  Tradisi Jamu Laut
Tradisi Jamu Laut  pelaksanaannya selalu diawali dengan berbagai tanda-tanda seperti adanya mimpi-mimpi dari pawang laut, wabah penyakit atau atau ada penduduk yang kerasukan roh halus dari laut yang meminta makan kepada warga masyarakat setempat. Setelah diyakini perlu untuk melakukan Jamu Laut maka pawang laut akan mengkomunikasikan kepada kepala desa dan pemuka masyarakat  untuk membicarakan tentang persiapan dana teknis pelaksanaan.
Pada saat upacara jamu laut, masyarakat berbondong-bondong ke pantai untuk bersama- sama melakukan pemotongan hewan, persiapan masak memasak dan penyampaikan do’a-do’a kepada Tuhan dan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat  dalam upacara jamu laut. Semua makanan yang tersedia dimakan bersama-sama ditempat upacara dan tidak boleh dibawa pulang kerumah.
 Tradisi jamu laut ini juga punya pantangan / larangan yang berlaku mengikat setiap warga masyarakat , lamanya waktu pantangan ditentukan oleh pawang  laut dan biasanya berlaku sehari semalam setelah jamu laut berlangsung.
Dalam melakukan tradisi atau upacara-upacara itu, pilihan  tempat juga menentukan jenis upacara yang akan dilakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel di bawah.
                             
                        Tempat Pelaksanaan menurut bentuk upacara
No
Bentuk Upacara
Tempat Upacara
1
Penanaman Limau
Pantai
2
Tolak bala
Pantai
3
Upah-upah sampan / kapal
Tempat penambatan perahu
4
Jamu laut
Pantai
5
Tepung Tawar keramba
Tempat keramba
6
Tepung tawar jaring
Tempat penambatan perahu
7




e. Pantangan laut      
Setiap upacara kearifan tradisional diatas harus mempunyai pemimpin upacara atau orang yang dianggap bisa ber’komunikasi’ dengan kekuatan supranatural. Orang – orang  yang ikut dalam proses upacara tersebut  harus setuju dengan aturan dan pantangan yang diberitahukan oleh pemimpin upacara atau pawang laut. Tabel berikut akan memperlihatkan  jenis pantangan  atau larangan dari setiap kearifan tradisional di Jaring Halus.
Jenis pantangan menurut bentuk upacara
NO
Bentuk Upacara
Jenis Pantangan
1
Penanaman
 Limau
Ø  Tempat penanaman tidak boleh diketahui orang lain
2
Tolak Bala
Ø  Tidak boleh membuat maksiat di pinggir pantai
Ø  Membuang ikan dan tulang di laut
Ø  Berkelahi (dipantai, dikapal/sampan /dilaut)
Ø  Menjerit-jerit (didesa dan dilaut)
Ø  Menghidupkan selama massa pantangan
Ø  Tidak boleh kelaut selama 3-7 hari
Ø  Tidak boleh menyembelih binatang selama 3 hari
3
Upah-upah 
Sampan/kapal
Ø  Tidak boleh menjemur pakaian disampan
Ø  Tidak boleh bertengkar dilaut
Ø  Tidak boleh  Membuang ikan dan tulang di laut
Ø  Setiap hasil tangkap yang diperoleh harus dibongkar kepinggir pantai
Ø  Mandi dan mencuci  diatas kapal / sampan dan membawa anak perempuan(gadis)kelaut
4
Jamu Laut
Ø  Tidak boleh mengorek / menggali tanah
Ø  Mengambil barang yang jatuh di tanah  selama waktu pantangan berlangsung
Ø  Memukul – mukul air


Ø  Tidak boleh masuk ke desa sampai habis masa pantangan
5
Tepung tawar keramba
Ø  Tidak boleh memukul-mukul air  dalam keramba
Ø  Tidak boleh dilangkahi
Ø  Tidak boleh bertengkar
6
Tepung tawar Jaring
Ø  Tidak boleh di Masukkan dalam rumah
Ø  Tidak boleh lepas dari air
Ø  Tidak boleh diletakkan di atas perahu


f.  Pengetahuan Terhadap Makhluk Ghaib
Masyarakat desa Jaring Halus meyakini bahwa ada kekuatan supranatural yang mendiami  di sekitar lingkungan pesisir laut yang diistilahkan dengan jin penghuni laut. penghuni laut bisa membantu  dan merugikan nelayan  dalam melakukan aktivitas mereka di laut . Untuk menghindari kerugian akibat ulah penghuni laut umumnya nelayan memiliki beberapa do’a dari Nabi Khaidir (diyakini bahwa Nabi khaidir yang menguasai seluruh isi laut).
Ada kebiasaan yang sudah menjadi norma bahwa setiap orang yang ‘terkena’ penghuni laut harus diobati dahulu oleh sang pawang baru kemudian diambil alih oleh tenaga medis (bidan, mantri atau dokter) jika tidak demikian maka resikonya korban bisa menjadi gila atau mengalami kematian.

2.  Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan
Masyarakat pesisir desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang di pantai Timur Sumatera Utara memiliki kearifan dalam pengambilan kerang. Kerang laut yang banyak terdapat di laut sekitar muara sungai percut diambil nelayan ketika air laut surut.
Nelayan tradisional dengan memakai sampan dayung akan mendekati daerah perkembang biakan kerang ketika air laut surut sehinga kerang- kerang ini dalam posisi kering atau tidak terlalu dalam .Dengan peralatan sederhana seperti parang kerang, nelayan mengambil kerang dan memasukan ke dalam goni yang kemudian diangkat kedalam sampan. Atau juga nelayan mengambil kerang di dalam air laut yang tidak terlalu dalam, yang masih bisa diselam. Bagi nelayan yang memakai kapal motor dan memakai peralatan yang lebih canggih dilarang mengambil kerang pada zona nelayan tradisional.
Kearifan tradisional  nelayan dalam mengambil kerang ini adalah adanya  zona untuk nelayan tradisionil dan zona untuk nelayan berteknologi modern. Batasan itu adalah kedalaman air laut setinggi leher orang dewasa(1.5 meter). Kearifan ini  hidup dan tetap dijaga nelayan sehingga tidak menimbulkan konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan modern.
Menurut penuturan Syamsul Bahri, Kepala dusun 16 Bagan Percut, pernah terjadi tawuran besar antara nelayan Percut dengan nelayan Pantai Labu, karena nelayan Pantai Labu dengan peralatan kapal modern mengambil kerang pada zona nelayan tradisionil desa Pecut. Masyarakat pesisir desa merasa dilecehkan akan kearifan budaya pengambilan  kerang, sehingga menyerang nelayan Pantai Labu serta membakar kapal motor nya.

B. Kearifan Pantai Barat Sumatera Utara
1 .Desa Batahan
            Desa Batahan berada di Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal, berada di pantai barat  Sumatera  Utara. Beberapa kearifan tradisional  masyarakat pesisir desa batahan berupa:
a. Upacara Niat Tahunan
Upacara Niat Tahunan secara rutin dilaksanakan warga masyarakat desa Batahan yang diprakarsai para hotabangan, tokoh agama dan pamong praja desa biasanya dilaksanakan pada bulan Sya’ban bertujuan untuk manulak balo (menolak bala) yang dapat merugikan seluruh warga desa baik untuk saat ini ataupun massa mendatang.
Proses upacara langsung dipimpin oleh para hatobangan atau ustads. Disepanjang jalan desa dipasangi dengan berbagai umbul –umbul putih yang menandakan perlawanan dan kemenangan dari bala yang akan mengancam. Rangkaian upacara dimulai dengan ceramah dari pemimpin desa menyangkut kondisi aktual baik sosial, budaya, ekonomi yang penuh dengan nasehat, setelah itu dilakukan upacara pemotongan hewan kambing atau kerbau yang dilakukan oleh  hatabangan dilanjutkan dengan upacara tahlil, azan siang dan jamuan makan bersama.

b. Melimoi
            Setelah upacara niat tahunan, pada malam harinya dilakukan upacara melimoi laut dengan menebarkan kembang dan menjatuhkan binatang kurban ditengah perairan diiringi dengan bacaan ratib atau tahlil berjalan secara bersamaan ,
Tujuan  utama upacara niat tahunan adalah :
  • meminta terhindar dari bala dan penyakit menular
  • meminta hasil perikanan laut secara berlimpah
  • mempersatukan warga dan mencegah secara dini konflik sosial di desa
Setelah selesai prosesi upacara, seluruh warga wajib melaksanakan syarat yang sudah disepakati bersama yang ditetapkan oleh  hatobangan, pawang dan tokoh –tokoh masyarakat. Pantangan atau syarat tersebut adalah tidak boleh melakukan aktivitas dilaut selama tiga hari berturut – berturut  baik memancing, menjaring, berbagan pancang dll. Jika aturan atau pantangan tersebut dilanggar akan menimbulkan kesulitan dalam mendapatkan rezeki dari laut

c.  Mangubek Pasi ( mengobati pantai)
Disamping ritual  upacara niat tahunan, nelayan mengenal dan menerapkan terapi –terapi gaib untuk mengantisipasi kemerosotan hasil tangkap di laut termasuk juga antisipasi akan bahaya  abrasi pantai yang melanda pemukiman penduduk. Umumnya penduduk mengunakan jasa dukun / pawang laut dalam melaksanakannya dengan lokasinya diantara lokasi pantai, sepanjang garis pantai desa, daerah konsentrasi penangkapan dan konsentrasi pemukiman. Upacara mangubek pasi biasa dilakukan saat kondisi nelayan sedang krisis dari hasil tangkapan (pacekelik) sekitar musim barat dan selatan dimana nelayan selalu terganggu dengan koloni ubur-ubur yang biasa terjaring yang akan menimbulkan penyakit gatal-gatal sementara ikan yang diharapkan tak kunjung terjaring.
Upacara ini memiliki pantangan atau syarat yang harus ditaati seperti lokasi pantai tidak boleh kotor baik kotoran manusia, binatang maupun sampah rumah tangga.

d. Melimoi sampan dan alat tangkap
Upacara atau tradisi melimoi sampan, jaring dan kemudi  selalu dilakukan penduduk Desa Batahan. Bagi nelayan kapal motor seperti bagan, boat, pukat cincin yang akan dilimoi harus berawal dari inisiatif dari pemilik atau tekong karena pemilik  dan tekong memiliki hubungan  erat secara emosional sehingga berimplikasi pada hasil produksinya.
Jika beberapa kali melaut tetapi hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya operasional yang telah dikeluarkan maka biasanya pemilik kapal  akan memeriksakan kondisi keseluruhan alat produksinya kepada dukun/ pawang  laut untuk mengetahui apakah ada ketidak serasian hubungan antara kapal  dengan tekong atau ABK-nya bahkan untuk kasus-kasus tertentu bisa saja kapal tersebut diguna – gunai oleh orang – orang yang iri sebagai akibat persaingan .
 Umumnya bahan ramuan yang digunakan dalam proses terapi pengobatan (melimoi) adalah sebagai berikut :
  • Sedingin Lawik / laut
  • Sedingin darat
  • Serambon
  • Jariamun Lawik (sejenis rumput laut)
  • Jariangi darat
  • Linjuang merah/putih/kuning
  • Jeruk parut
  • Kemenyan
  • Kain hitam, bawang, putih/merah
  • Air rempah-rempah dan kembang
e.  Jumbalang/ Jin Lawik
            Penduduk desa Batahan memiliki keyakinan bahwa laut masih penuh dengan misteri yang didalamnya ada penghuni makhluk gaib/halus, tidak dapat dideteksi oleh panca indra manusia tetapi keberadaan dan pengaruhnya dapat dirasakan nelayan. Makhluk gaib tersebut biasa disebut dengan jumbalang lawik yang  terbagi dua yaitu jumbalang perairan dan jumbalang pantai. Nelayan selalu mewaspadai dirinya agar tidak kesambet jumbalang tersebut, jika kesambet menyebabkan sakit yang sembuhkan, gila atau kematian .Kesambet jumbalang ditandai dengan gejala-gejala perasaan selalu gelisah, suhu badan panas dingin, kelakuan aneh (hilang akal ), kondisi fisik lemah bahkan bisa lumpuh, kejang – kejang dan lain – lain.
Penyakit terkena jumbalang lazim disebut dengan terkena air kram (lumpuh total ). Untuk menghindari agar nelayan tidak kesambet biasanya tidak boleh tinggi hati, takabur dan selalu pasrah pada Allah SWT. Wilayah kekuasaan jumbalang terletak di perairan pinggir pantai dan lokasi yang diketahui memiliki potensi perikanan yang banyak.
            Sebagian besar pawang atau kepala regu  nelayan tempo dulu selalu dibekali dengan keahlian mengenal seluk – beluk fenomena alam laut dan hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib. Tidak jarang para pawang menggunakan jasa jumbalang (makhluk halus laut) dalam aktivitasnya menangkap ikan tetapi hubungan yang terjalin antara pawang dan jumbalang tersebut  sering harus dibayar mahal dikalangan anak buah pawang yang menjadi tumbal pengorbanan. Praktek ilmu gaib saat ini telah lama ditinggalkan karena  resiko yang diterima cukup besar selain itu juga bertentangan dengan ajaran agama.

f.  Pantangan Nelayan
            Pantangan nelayan ketika berhubungan laut harus dibarengi denga tata-krama atau pantangan –pantangan yang harus ditaati sewaktu merawat alat tangkap ketika berada di laut dan diyakini akan berdampak  pada pengahasilan nelayan. Berikut pantangan dan larangan  yang ada dalam kebiasaan nelayan desa Batahan :
Pantangan dan Larangan dalam kebiasan
No
Jenis Pantangan
Manfaat
1
Bacakak / berkelahi
Supaya lancar rejeki
2
Takabur/ria
Menghindari terkena jumbalang
3
Melanggar tali air laut (jalan lintas jumbalang )
Menghindari terkena jumbalang
4
Jam 12 siang dan jam 18 sore dilarang beraktivitas
Menghindari terkena jumbalang
5
Menunjuk dengan telunjuk hal-hal yang aneh
Menghindari terkena jumbalang
6
Pancing jangan terkena sapu
Menghindari kesialan
7
Kepala biduk/ perahu jangan dilangkahi
Menghindari kecelakaan di laut
8
Jala jangan ditebar di tanah atau menjala hewan darat
Menghindari hal – yang tidak diinginkan ketika melaut
9
Memisahkan alat tangkap
Menghindari nasib sial di laut
10
Membuang makanan atau ikan
Menghindari nasib sial di laut
           
Berbagai pantangan diatas saring kali dilanggar. Umumnya nelayan mengangap pantangan tersebut tidak lagi menimbulkan dampak kerugian bagi mereka (hanya diyakini oleh nelayan tempo dulu)  namun sebagian kecil dari pantangan tersebut masih kuat melekat pada prilaku nelayan misal kepercayaan terhadap jumbalang laut.

2.  Desa Sitardas
            Desa Sitardas, berada di Kecamatan Lumut, Kab. Tapanuli Tengah, pada bagian barat  Sumatera Utara. Masyarakat Sitardas  khususnya Kampung Sawah memiliki kearifan tradisional  dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, berupa :

a. Larangan / pantangan menangguk udang dua kali dalam sehari.
Dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam, agar tidak terjadi kelebihan daya tangkap, maka masyarakat nelayan  kampung Sawah hnya dibolehkan melakukan pengambilan udang satukali sehari. Kendati misalnya pada pagi hari ketika menangguk udang memberi hasil yang besar, masyarakat dilarang untuk menangguk kedua kalinya dalam sehari. Atau juga sebaliknya kendati tangkapan pertama sedikit, tetapi setelah pulang kerumah tidak dibolehkan untuk menangguk yang kedua kalinya.

b .Larangan / pantangan mengambil ikan dengan petromak, apalagi dengan bom dan racun.
Masyarakat kampung Sawah dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam, melarang mengambil ikan dengan mempergunakan teknologi uang merusak habitat ikan seperti dengan racun dan bom ikan. Bukan hanya  itu dengan menggunakan lampu  petromak pun dilarang, karena ikan akan tertangkap dalam kapasitas besar.

c. Memiliki kawasan lindung/pantangan mangrove tempat mengambil udang di Siage sepanjang 1500 meter. Dalam menjaga kelestarian  sumberdaya alam, masyarakat nelayan Kampung Sawah telah memiliki zona aman mangrove sepanjang 1500 meter yang tidak boleh diusik, sebagai sumber pembenihan ikan, sumber nutrisi dan tempat perkembangbiakan biota laut.

d.Larangan melaut dihari Jum’at
Sebagai penghormatan kepada agama, dan juga untuk memungkinkan semua nelayan berintraksi serta mengikuti ibadah sholat Jum’at, maka semua nelayan dilarang melaut pada hari Jumat, baik pagi maupun pada sore hari.

      E.  Larangan / pantangan meludah di laut
          Laut sebagai bahagian dari kehidupan nelayan harus dijaga kelestarian dan kebersihannya, karena di dalam laut juga hidup berbagai biota sumberdaya alam dan juga berbagai makhluk gaib lainnya. Dengan begitu dilarang meludah karena akan mengotori laut dan penghuninya.

f.   Hak kawasan pengelolaan bagan (alat tangkap tradisional )
Agar nelayan tidak konflik dalam pemamfaatan lautan sekitar desa Sitardas, masyarakat nelayan telah memiliki zona pemakaian laut. Ada zona untuk alat penangkap dengan bagan, ada zona pemancingan, zona menjaring dan lainnya.

g. Larangan / pantangan mengambil ikan di Pulau karang Silasia
Seperti halnya zona inti mangrove yang tidak boleh diganggu sedikitpun, masyarakat nelayan kampung Sawah juga memiliki zona aman untuk terumbu karang yang tidak boleh diusikkan sekalipun dan dikermatkan masyarakat di karang atol Silasia.

h. Hukuman adat bagi pelanggar kearifan tradisional  dapat berupa :
  1. Meminta maaf serta memberi makan masyarakat
  2. permohonan maaf dan pembersihan pantai atas kerakusan  manusia terhadap alam sehingga alam tidak murka dalam bentuk “mamangiri”
3.  Desa Muara,
Desa Muara, Kec. Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah berada di pantai barat Sumatera Utara.  Masyarakat pesisirnya memiliki kearifan  tentang penyelamatan terumbu karang. Nelayan kutuk-kutuk, menurut Finerwin Zuska selalu menjaga kelestarian  terumbu karang, selain melindungi dirinya dari gelombang ganas apabila terumbu karang masih baik, terumbu karang merupakan rumah ikan (lapak - lauk).
            Nelayan kutuk-kutuk, nelayan yang memakai mesin sampan dengan mesin kukuran kelapa dalam operasinya selalu mencari lapak – lauk. Disekitar  tempat itu mereka memasang jaring, dipasang senja hari diambil subuh dan dipasang  pagi hari diambil senja hari. Nelayan kutuk-kutuk mempunyai pengetahuan terhadap terumbu karang dan sangat  mengharapkan kelestarian terumbu karang.
            Sebagai bukti akan kepedulian nelayan terhadap kelestarian terumbu karang, pada tahun 1990- an mereka memprotes penghancuran terumbu karang oleh para nelayan yang memiliki modal besar dan teknologi yang modern. Protes yang dilakukan dengan menyerang pengebom terumbu karang di tengah laut, namun yang terjadi adalah nelayan dilempari bom, sehingga nelayan mengalami luka-luka. Proses hukumpun dilakukan atas tindakan pengeboman terumbu karang dan pengeboman nelayan, tapi kenyataan proses hukum mengalami kebuntuan.
            Tindakan lain yang dilakukan nelayan dengan tindakan membakar kapal pukat harimau yang dilarang, yang merusak kelestarian laut. Usaha inipun tidak membuahkan hasil. Pengrusakan lingkungan terus terjadi tanpa ada kemampuan nelayan dan masyarakat pesisir mempertahankannya. Konsekwensinya kehidupan nelayan semakin terus rentan.

*Makalah  Pada Seminar Nasional Budaya dan Lingkungan,di Parapat, 20 Juli 2008
** Mahasiswa Program Doktor PSL-USU, Ketua Lsm BLH Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Fikarwin Zaska,2004. Nelayan Kutuk-Kutuk di Tapanuli Tengah: Kearifan dan ketidakberdayaan menegakkan pelestarian dalam Bunga Rampai Kearifan Lingkungan ,Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup   .hal,443 -448.
Hamzah Lubis,2002, Zonasi Konservasi Mangrove  dalam Proseding Workshop Perencanaan Strategi  Pengendalian Kerusakan Mangrove Se- Sumatera Bandar Lampung : DFID; hal.53
Hamzah Lubis,2003, Pengelolaan Wisata Bahari di Pulau Unggas Tapanuli Tengah;Medan :
            SPS PSL-USU
Hamzah Lubis,2003, Laporan Projek Reforetarasi of Mangrove Forest, Medan; BLHSU-DAP Australia (tidak dipublikasikan)
Irfan,2003, Kearifan Tradisionil Masyarakat Dalam Mengelola Sumberdaya Laut; Medan;
            SPS PSL– USU
Konjora Ningrat,1982,Manusia dan Kebudayaan di Indonesia  ,Jakarta: Djamabatan
Zulham Hidayah, Joondy Purba, 2004: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Pesisir dan Nelayan dalam Bunga Rampai Kearifan  Lingkungan, Jakarta; Kementerian Lingkungan Hidup, hal 418-435







No comments:

Post a Comment